Kasus Kawin Tangkap ANG Kini Ditangani Polisi, Bagaimana Sebenarnya Tradisi Kawin Tangkap di Sumba?
Kasus kawin tangkap yang dialami ANG, wanita asal Kecamatan Kota Waikabubak kini ditangani Polres Sumba Barat.
Editor: Dewi Agustina
Dikatakan Doni, dalam waktu dekat penyidik Reserse dan Kriminal Polres Sumba Barat akan meminta keterangan dari ahli sebagai saksi.
Setelah itu, akan dilakukan gelar perkara untuk penetapan tersangka.
"Hasil gelar perkara bahwa status perkaranya dinaikkan ke tahap penyidikan," terangnya.
Apa itu Kawin Tangkap?
Kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba.
Dalam istilah adat, cara peminangan ini dinamakan piti rambang atau ambil paksa.
Dalam hal ini, calon mempelai laki-laki akan 'menangkap' calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar dan dinikahi.
Sebenarnya istilah kawin tangkap di Sumba sudah dihentikan sejak 2020 lalu.
Empat bupati di Pulau Sumba saat itu menandatangani kesepakatan bersama stop kawin tangkap yang masih terjadi beberapa waktu lalu.
Bupati Sumba Barat, Drs Agustinus Niga Dapawole menegaskan, dari sisi budaya Sumba tidak mengenal adanya kawin tangkap. Yang benar menurutnya adalah kawin lari.
"Dan, secara tradisi budaya Sumba membolehkan hal itu terjadi," ujar Bupati Niga melalui Asisten Adminstrasi Umum Setda Sumba Barat, Yermia Ndapa Doda S.Sos, sesaat setelah menghadiri rapat tindak lanjut atas penandatanganan kesepakatan bersama empat bupati se-Sumba tentang stop kawin tangkap.
Rapat ini dipimpin Bupati Niga Dapawole di ruang rapat Bupati Sumba Barat, Senin (20/7/2020).
Yermia menjelaskan kawin lari terjadi bila anak perempuan dan laki-laki saling mencintai tetapi kedua orang tua tidak setuju.
Keduanya pun memutuskan kawin lari agar proses perkawinan cepat terlaksana.
Menurutnya, kawin lari terjadi bila kedua anak saling mencintai dan salah satu keluarga perempuan atau laki-laki tidak setuju.
Dengan demikian dua sejoli memilih jalan pintas kawin lari dan sebagainya.
Selanjutnya, perwakilan keluarga laki-laki memberitahu keluarga perempuan bahwa anaknya ada di rumah laki-laki.
Pada titik ini, diakui Yermia, akan terjadi perundingan kedua belah pihak untuk membicarakan penyelesaian secara adat.
Biasanya keluarga perempuan datang membawa kain dan babi untuk menerima belis berupa kuda dan kerbau.
"Bila kedua belah pihak sepakat, maka akan berlangsung proses adat pembelisan seperti biasa," terang Yermia.
Namun demikian, Yermia mengakui, di zaman modern sekarang, hal itu jarang terjadi bahkan tidak terjadi lagi.
Kawin lari itu terjadi sekitar 15-20 tahun lalu.
Yang terjadi sekarang, proses perkawinan terjadi karena anak laki-laki dan perempuan saling mencintai dan orang tua hanya merestu saja.
Tentu semua harus berjalan sesuai adat budaya Sumba.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah akan mengadakan pertemuan lagi dengan tokoh adat enam kecamatan sebelum membentuk tim melakukan sosialisasi tentang stop kawin lari dan berujung pembuatan perda nantinya.
Jangan Gunakan Istilah Kawin Tangkap
Sementara itu Kapolda NTT Irjen Pol Drs Lotharia Latif SH MHum menyarankan agar masyarakat jangan lagi menggunakan istilah kawin tangkap di Kabupaten Sumba Tengah.
Hal tersebut disampaikan Kapolda NTT saat mengikuti Rakor dengan Komnas Anti Kekerasan terhadap perempuan RI, Jumat (20/11/2020) seperti dikutip dari Pos Kupamh.
Kapolda NTT mengatakan berdasarkan hasil diskusi dan penjelasan dari budayawan asal Kabupaten Sumba Tengah Anderias P Sabaora bahwa istilah Kawin Tangkap jangan digunakan lagi.
Tradisi 'kawin tangkap' di Sumba memiliki proses adat yang jelas, bukan asal membawa perempuan secara paksa.
Istilah kawin tangkap juga tidak tepat untuk menggambarkan tradisi di NTT.
Akibatnya orang salah membandingkan tradisi setempat dengan praktik pemaksaan.
Secara garis besar, calon mempelai laki-laki akan 'menangkap' calon mempelai perempuan, dalam proses yang sebetulnya sudah direncanakan dan disetujui oleh keluarga kedua belah pihak.
Prosesnya pun melibatkan penanda informasi adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal, sebagai tanda bahwa prosesi tengah berlangsung.
Kapolda juga menyampaikan bahwa Polri berkomitmen untuk tidak digunakan lagi istilah kawin tangkap baik dalam proses penyelidikan atau penyidikan.
Kapolda NTT, juga mengharapkan semua elemen untuk berperan mulai dari para tokoh adat dalam merumuskan penggunaan istilah-istilah yang sesuai dengan kearifan lokal.
"Polri dalam menangani Kasus Kawin Tangkap di Kabupaten Sumba Tengah dimana penanganannya di SP3 karena kedua pihak memilih penyelesaian melalui hukum adat," tambahnya.
Sumber: Pos Kupang, Kompas.com
Sebagian artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Ance Jadi Korban Kawin Tangkap di Sumba Barat, Sang Ibu Pingsan, Polisi Turun Tangan