Kasus Asusila di Parigi Disebut Persetubuhan, Reza Indragiri: Pelaku Bisa Dijatuhkan Hukuman Mati
Irjen Pol Agus Nugroho menyebut peristiwa yang melibatkan 11 laki-laki ini merupakan kasus persetubuhan.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar psikologi forensik yang juga seorang Konsultan Yayasan Lentera Anak Reza Indragiri Amriel angkat bicara terkait kasus asusila yang menimpa remaja wanita (15) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Apalagi kasus tersebut menjadi kontroversi setelah Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Pol Agus Nugroho menyebut peristiwa yang dialami remaja wanita itu adalah persetubuhan bukan perkosaan.
Menurut Reza, dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut.
Baca juga: Nasib Ipda MKS, Oknum Polisi Diduga Terlibat Kasus Asusila Remaja di Parigi Moutong, Sudah Ditahan
Apakah persetubuhan bisa disetarakan dengan perkosaan?
Persetubuhan dengan anak, dalam istilah asing, adalah statutory rape. Rape adalah pemerkosaan.
"Istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan rape. Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak. Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat. Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," terang Reza.
Baca juga: Oknum Polisi Terlibat Kasus Asusila di Parigi Moutong Belum Jadi Tersangka, Polisi: Minim Alat Bukti
Jadi, kata Reza jangan risau pada diksi yang polisi pakai. Menurutnya, polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak.
Siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, dikatakan Reza, termasuk anggota Brimob sekalipun, niscaya diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Apa jenis kejahatan seksualnya?
"Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," tuturnya.
"Terkait nasib pelaku, tidak berat untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka. Termasuk hukuman mati. Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian seriu," katanya.
Reza menjelaskan, tinggal lagi kondisi korban. Dia berusia 15 tahun. Artinya, secara fisik, tubuhnya sudah mengenal sensasi seks. Juga, perkosaan berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya.
Dengan kondisi seperti itu, penting dicari tahu apakah korban mengalami perkosaan dengan perasaan menderita ataukah biasa saja atau justru menganggapnya sebagai aktivitas transaksional dengan tujuan instrumental (memperoleh keuntungan).
"Sebetulnya, apapun kondisi korban, dia tetap berstatus korban dan pelakunya tetap harus dipidana. Tapi pengetahuan tentang kondisi mental korban dibutuhkan dalam rangka menyusun program penanganan yang tepat bagi dirinya," ujarnya.
Baca juga: Satu dari 11 Pelaku Persetubuhan Anak di Parigi Moutong Sulsel Berstatus Mahasiswa
Masih kata Reza, pengetahuan tentang hal itu boleh jadi terkesampingkan. Terindikasi dari informasi si pendamping yang berkutat semata-mata pada kondisi fisik korban. Mungkin, saking ekstrimnya masalah fisik si korban, pendamping serta-merta meyakini bahwa korban mengalami perkosaan dengan penuh penderitaan.