Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita di Balik Desa di Kediri Larang Aparat Pemerintah, TNI-Polri hingga Priyayi Masuk

Aturan mengenai larangan aparat dan priyayi untuk masuk itu tertera di depan gang. Kepercayaan itu terbangun dari sebuah cerita turun-temurun.

Editor: Muhammad Zulfikar
zoom-in Cerita di Balik Desa di Kediri Larang Aparat Pemerintah, TNI-Polri hingga Priyayi Masuk
Dok. Karang Taruna Tales
Dusun Setono, Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, yang tidak boleh dimasuki oleh priyayi dan aparat pemerintah. Masyarakat setempat percaya jika aturan itu dilanggar maka akan ada konsekuensinya. 

Dusun Setono di Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, melarang pejabat memasuki wilayah dusunnya.

Masyarakatnya juga percaya jika aturan itu dilanggar maka akan ada konsekuensinya.

Biasanya adalah kehilangan jabatan atau jatuh sakit.

Larangan itu bahkan terpampang dalam sebuah plakat yang dipasang di pintu gerbang masuk sebuah gang di dusun tersebut.

Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, larangan itu sudah dikenal sejak zaman Belanda, yaitu dengan istilah verboden voor binnenlands bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri.

"Jadi di wilayah itu para pegawai pejabat dilarang masuk," ujar Eko Priyatna kepada Kompas.com, Rabu (23/8/2023).

Selain di Dusun Setono yang ada di Desa Tales, aturan seperti itu rupanya juga berlaku di wilayah lainnya di Kabupaten Kediri, yakni di Dusun Gempol Garut yang ada di Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem.

Berita Rekomendasi

Latar belakang terbitnya aturan di dua tempat itu berbeda.

Pada Dusun Setono dilatarbelakangi oleh kisah asmara, yaitu penolakan seorang putri terhadap priyayi yang meminangnya.

Putri yang konon bernama Ambarsari itu kemudian melarikan diri dan bersembunyi di wilayah Setono.

Untuk melindungi tempat persembunyiannya, dia berujar bahwa siapapun priyayi yang masuk wilayah persembunyiannya akan lengser dari jabatannya.

Sedangkan di Dusun Gempol Garut, Eko Priyatna mengatakan, pelarangannya dipicu oleh pembangkangan warga terhadap pemerintahan penjajahan Belanda.


Masyarakat saat itu menolak aturan-aturan yang dibuat Belanda, misalnya soal tarikan pajak atau hal lainnya yang memberatkan warga.

"(Aturan di) Toyoresmi sebagai wujud penolakan atas pemerintahan yang berbau Belanda.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas