Kisah Chattra dari Theodore van Erp hingga Versi Pak Werdi Candirejo
Kisah Borobudur masa modern dimulai saat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles pada 1814 berkunjung ke Semarang.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Meski demikian, menurut Mundarjito, pemasangan chattra harus diputuskan dengan penuh kehati-hatian berdasarkan intepretasi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Pada akhir Desember 2023, sebagian tokoh dan kalangan Buddha Indonesia sangat berharap rencana pemasangan chattra atau payung di puncak Candi Borobudur segera bisa diwujudkan.
Pemasangan chattra diyakini akan semakin memperkuat aspek spiritualitas dan menjadi kesempurnaan Borobudur sebagai tempat peribadatan.
Tak sebatas untuk umat Buddha, pemasangan ini juga akan menjadi energi baru bagi Indonesia.
Hal itu dikemukakan Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI Drs Supriyadi MPd lewat pernyataan yang dipublikasikan di situs Kementerian Agama RI.
Pemasangan chattra di Candi Borobudur menurutnya menjadi salah satu perhatian Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam mewujudkan Borobudur sebagai tempat ibadah bagi umat Buddha Indonesia dan dunia.
Pemasangan chattra yang telah menjadi impian lama umat dan tokoh Buddha akan menjadi babak baru dalam optimalisasi dan pengembangan Candi Borobudur.
Lewat pemahaman, kesadaran dan tanggung jawab bersama itu, diharapkan Borobudur menjadi destinasi yang kian memikat orang untuk datang tanpa sedikitpun menggerus aspek perlindungan kecagarbudayaan.
Bagi umat Buddha, lanjut Supriyadi, pemasangan chattra diyakini memberikan dampak spiritualitas yang sangat mendalam.
Apalagi saat pemugaran Borobudur yang dipimpin Theodoor van Erp pada kurun 1907-1911 silam, chattra diyakini pernah terpasang megah di puncak stupa utama.
Tak hanya itu, sejarah adanya chattra ini juga telah banyak diceritakan dalam berbagai kitab maupun literatur.
Seperti dalam kitab Lalitawistara Sutra yang menyebut kata payung berkali-kali. Tak hanya itu, kitab Lalitawistara Sutra ini juga terukir dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur.
Penggunaan kata payung dapat ditemukan dalam Gandawyuha Sutra. Kitab ini mengisahkan Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian ‘Pencerahan Sempurna’.
“Dalam kisah tersebut, Sudhana digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Gambaran payung tersebut terukir dalam 332 keping relief di Candi Borobudur,” kata Supriyadi di Jakarta, Kamis (14/12/2023).
Selain tertuang dalam Lalitawistara Sutra dan Gandawyuha Sutra, kata Supriyadi, istilah chattra juga ditemukan dalam kisah-kisah Jataka, Awadana dan Karmawibhangga Sutra.
Kisah-kisah Jataka dan Awadana pun terukir dalam 720 keping relief di Candi Borobudur. Payung tersebut tergambar di mana para brahmin dilindungi oleh payung di atas kepalanya.
Dijelaskan Supriyadi, melalui ruang interpretasi keagamaan (Buddha), dapat ditemukan pula kesatuan pandangan kepingan batu-batu secara nyata ada dan ditemukan di Candi Borobudur sebagai payung.
Chattra pernah terpasang di tempat yang paling mulia pada masanya.
“Dengan fakta ini, sesuai arahan Gus Men, keputusan untuk memasang kembali chattra merupakan upaya dalam menyempurnakan Borobudur sebagai Pusat Kunjungan Wisata Religi Agama Buddha Indonesia dan Dunia,” katanya.
Hari-hari ini, tim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang mempersiapkan pembongkaran chattra di komplek MCB Borobudur, dan akan dikaji ulang untuk persiapan pemasangan.
Pendapat kalangan sejarah dan arkeologi sudah sangat jelas, dan diulang-ulang kesimpulannya sama, yaitu chattra versi van Erp belum memiliki dasar kuat.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)