Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Rahasia di Balik Pesantren Berwajah Etnik, Yang Wajib Anda Ketahui

Tidak jarang karya arsitektur tersebut dihasilkan dari upaya-upaya serius untuk menggabungkan aspek Islam.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Rahasia di Balik Pesantren Berwajah Etnik, Yang Wajib Anda Ketahui
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli 

Pertama, melalui ide, konsep, atau pemikiran dengan segala bentuk turunannya. Saya dan para tamu yang saya undang, selalu menyampaikan hal-hal yang terkait dengan bagaimana santri Bina Insan Mulia nanti berkembang sesuai kemajuan zaman di satu sisi, namun tetap harus menjaga karakteristik ke-Islaman dan ke-Indonesiaan di sisi lain. Demikian juga prinsip dasar NU yang mengamalkan Islam secara tawasud, tawazun, dan tasamuh itu selalu kami sampaikan.

Kedua, pendidikan budaya juga disajikan melalui kreativitas secara fisik. Misalnya, saya menerima tamu dari berbagai kalangan. Itu adalah pendidikan budaya yang nyata. Orang berjubah saya terima, orang geng motor saya terima, orang berdasi saya terima, tokoh politik saya terima, kiai tarekat saya terima, dan seterusnya.

Kemampuan mengakomodasi keragaman adalah bagian penting dari pendidikan budaya dan agama sekaligus. Mewadahi keragaman tidak sama dengan ketidakjelasan. Kita diperintahkan harus berprinsip di satu sisi, namun harus fleksibel di sisi lain. Dari sinilah lahir toleransi yang sehat dan cerdas.

Bahkan, cara hidup di Bina Insan Mulia juga mengakomodasi tak terhitung keragaman. Satu sisi para santri mengamalkan praktik-praktik salaf, misalnya menggunakan kopyah, puasa, mencium tangan guru-guru, bahkan mematung kepada kiai-kiai dan tamunya. Namun, di sisi lain sangat adaptif terhadap perkembangan zaman.

Sengaja saya kumpulkan mobil-mobil yang katanya mewah atau teknologi canggih, seperti smart class atau makanan barat di Bina Insan Mulia 2. Semua itu sesungguhnya untuk mengisi materi pendidikan budaya. Satu sisi mereka perlu menerima perubahan dan perkembangan zaman, tapi di sisi lain punya komitmen kuat untuk mempertahan jati diri.

Acara haul setiap tahun pun dikemas dengan memadukan unsur agama dan budaya. Ada istighosah, tahlil, dan tahfidz, tapi juga ada pagelaran seni budaya. Bahkan saya mengundang artis ibu kota untuk menghibur santri dan masyarakat.

Ketiga, pendidikan budaya disajikan melalui artefak atau bangunan-bangunan dan karya. Ini sudah nyata di depan mata dalam bentuk bangunan, benda-benda seni, dan pagelaran seni budaya.

BERITA REKOMENDASI

Dengan ketiga wujud pendidikan budaya tersebut, para santri punya modal penting untuk memahami mana wilayah yang harus diharmoniskan, dikerjasamakan, dikompromikan, diberi toleransi, dan mana wilayah yang dikoreksi, bahkan ada yang harus ditolak.

Kedangkalan seseorang dalam memahami hubungan agama dan budaya kerap menimbulkan problem. Dan ini tidak saja berdampak pada kehidupan individu melainkan dapat mengganggu keharmonisan sosial. Bahkan perlu dijadikan catatan nasional. Saya melihat ada sembilan masalah yang timbul dari kedangkalan tersebut.

Pertama, gagal membedakan unsur agama dan unsur budaya. Misalnya makan nasi kebuli disebutnya mengikuti sunnah Rasul karena Arabnya, tapi makan nasi uduk disebutnya bukan sunnah Rasul karena bukan dari Arab. Ini sebatas joke untuk menjelaskan betapa seringnya kita menjumpai praktik yang timbul akibat gagal paham mana budaya Arab dan mana ajaran Islam.

Misalnya lagi berbuka dengan kurma itu sunnah, tapi berbuka dengan kolak itu bukan sunnah karena buatan Indonesia. Atau lagi misalnya memakai sarung itu tidak islami, tetapi memakai gamis itu islami. Bahkan ada ustadz yang menyebutkan sorban yang dipakai kiai-kiai di Indonesia itu derajatnya sama dengan kain biasa atau sama seperti serbet dan tidak islami karena buatan Nusantara.

Kedua, gagal memahami esensi agama dan tampilan praktik fisik. Tidak semua orang yang menyimpan keris itu musyrik. Karena musyrik dan tidak musyrik bukan soal punya keris atau tidak. Itu soal pilihan kebergantungan hati. Hati yang musyrik menghadirkan tandingan bagi Tuhan.

Orang miskin bisa musyrik dan orang kaya pun bisa musyrik, jika kebergantungan hatinya kepada benda-benda. Demikian juga orang yang tidur di kuburan. Tidak bisa kita menghukumi setiap orang yang tidur di kuburan itu musyrik, jika hatinya bergantung kepada Allah. Bisa jadi mereka tidak punya rumah atau mereka punya maksud tertentu untuk mengingat mati.


Artinya, akidah Islam atau akhlak Islam itu tidak bisa dinilai dari tampilan fisiknya. Justru yang diajarkan Islam adalah esensinya. Bahkan orang yang memberikan uang ke polisi itu tidak bisa diterjemahkan sebagai suap. Bisa jadi itu paksaan atau sedekah biasa. Tergantung keadaan, alasan, dan tujuannya. Kalau polisi yang memaksa, pasti kedzaliman. Tapi kalau polisinya yang dirayu, namanya penyuapan. Bukankah begitu?

Demikian juga dengan hormat pada bendera atau menyanyikan lagu Padamu Negeri. Jika dipahami dengan menggunakan teks agama saja, pasti akan dibilang itu bagian dari kemusyrikan. Tapi kalau dipahami sebagai ekspresi budaya bagi orang yang cinta negerinya, ya tidak ada masalah.

Ketiga, beragama dengan dalil yang sempit. Saya kerap mendengar orang bertanya Maulid Nabi itu dalilnya apa, atau setelah shalat bersalaman itu dalilnya apa, atau khaul tahunan itu dalilnya apa, dan lain-lain.

Dalam agama, dalil itu ada dua, yaitu ada dalil naqli (wahyu tertulis) dan dalil aqli. Untuk konteks ibadah muamalah antar manusia, dalil aqli perlu dioptimalkan selama tidak ada larangan dalam dalil naqli.

Maulid Nabi itu pasti bagus secara dalil aqli. Selain tidak ada larangan, pun isinya mengingatkan umat tentang sejarah Nabi SAW dalam memperjuangkan Islam. Apa jeleknya? Bahwa konten pendidikannya perlu ditingkatkan lagi, karena yang perlu kita contoh dari Nabi itu bukan semata ibadahnya melainkan perlu mengambil pelajaran dari tata cara hidup beliau, saya juga sepakat itu. Namun, terlalu sempit kalau kita mempersoalkan Maulid Nabi itu dari sisi dalil tekstualnya.

Keempat, mudah memusuhi kelompok lain yang berbeda cara pandangnya. Banyak kelompok yang sekarang ini mudah memberi rapot kepada kelompok lain. Merasa dirinya paling benar lalu menghakimi orang lain dan menyalahkannya kemudian membangun jarak yang merusak persatuan umat.

Padahal yang berbeda hanya di soal-soal furu’iyyah, bukan ushuliyah, seperti PKI. Catatan para kiai menemukan bahwa Kiai Hasyim Asyari itu hanya mengecam Syiah Rafidhah karena mereka mengecam sahabat nabi. Kelompok-kelompok lain yang shalatnya, syariatnya, akidahnya, atau hal-hal usuliah-nya tidak melenceng tetap diterima meskipun ada perbedaan.

Kelima, gagal mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagian masyarakat muslim memang gagal mengikuti perkembangan. Sekadar sebagai tempat sampah teknolobi atau pengguna teknologi semata. Padahal, teknologi itu kalau dioptimalkan sangat bermanfaat.

Saya dan seluruh civitas Bina Insan Mulia merasakan itu. Mengaji disiarkan di Youtube sehingga langsung bisa diakses oleh banyak santri di mana pun berada. Saya menulis apapun di koran, disiarkan secara online. Guru-guru juga saya minta meng-upload semua kegiatan positif di media social.

Demikian juga para santri. Selalu saya minta untuk meng-upload konten-konten positif yang bisa memahamkan dunia luar terhadap pesantren. Bahkan pada bulan Oktober kemarin, saya minta alumni Bina Insan Mulia dari angkatan satu sampai tujuh untuk berkumpul di Luxton Hotel. Selain mendapatkan pembinaan entrepreneurship dan career, saya juga minta mereka untuk aktif mengisi konten positif di medsos.

Kenapa? Saya beberapa kali menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada dunia hari ini adalah perang konten. Semakin banyak informasi positif mengenai pesantren yang dibaca orang luar, maka pemahaman mereka mengenai pesantren semakin bagus.

Keenam, hilang sopan santun karena mengikuti budaya lain. Jika sekolah sudah tidak mengajarkan sopan santun karena mengejar kurikulum, keluarga juga merasa tidak punya waktu dan tidak punya bekal untuk mengajarkannya maka harapannya di pesantren. Jika pesantren juga gagal dalam mengajarkan sopan santun, lalu kepada siapa? Karena itu, di Bina Insan Mulia, sopan santun diajarkan secara kultural. Bahkan tidak sedikit yang bilang bahwa tata krama yang diterapkan di Bina Insan Mulia itu feodal.

Ketujuh, gagal menerjemahkan idiom-idiom agama secara kultural di lapangan. Sejak zaman pesantren ini ada di Indonesia, jihad itu sudah diajarkan dalam kitab fiqih dan kitab-kitab lain. Jihad fii sabilillah itu dibahas panjang lebar, namun tidak ada satupun santri yang berpikir bahwa jihad ini harus diterapkan di Indonesia dalam bentuk mengebom untuk melawan orang kafir.

Kenapa? Karena ada saringan kultural di sana. Para santri menunggu para kiai untuk menerapkan ajaran jihad itu. Demikian juga ajaran mengenai riba, mengenai waris, dan seterusnya. Secara ilmunya sudah ada dari zaman dulu juga, tetapi praktiknya secara kultural membutuhkan kepemimpinan dan keteladanan para kiai, sehingga tidak menimbulkan kegoncangan apa-apa di Indonesia ini. Begitu datang kelompok lain yang tidak mengenal kultur, hanya mengenal teks agama, maka penerapannya menjadi beda.

Kedelapan, kegiatan dakwah malah menjauhkan orang. Dakwah dalam al-Quran adalah mengajak orang ke jalan Allah, bukan mengajak orang mengikuti kelompok kita atau pemikiran kita. Karena mengajaknya ke jalan Allah dengan cara-cara yang bisa diterima oleh hati manusia, maka Wali Songo dulu berhasil meng-Islamkan rakyat jelata sampai raja di Nusantara ini.

Namun, masalah timbul ketika dakwah dipraktikkan dalam bentuk mengajak manusia ke jalan kelompok sendiri dengan cara-cara yang bertentangan dengan kultur dan hati manusia. Banyak orang yang sudah Islam malah disalahkan. Ini muncul karena kedangkalan pemahaman pada aspek budaya dan manusia. Dakwah tidak cukup hanya paham teks, lalu miskin pemahaman terhadap konteks.

Kesembilan, salah memilih prioritas dan icon pesan-pesan Islam. Tak bisa dipungkiri bahwa ada bagian dari pesan agama yang menyuruh manusia untuk memberikan respon kekerasan. Salah satunya adalah perang. Namun, kalau dilihat dari keseluruhan ajaran Islam, locus-nya di titik yang sangat terbatas.

Misalnya, perangilah ketika posisimu diperangi. Bukankah itu sangat manusiawi? Engkau diperbolehkan membalas kedzaliman sepadan dengan kedzaliman yang engkau terima. Bukankah ini manusiawai? Namun, agama selalu diberikan pilihan yang lebih tinggi, yaitu memaafkan atau berbuat baik.

Meski ada perintah untuk perang dengan kondisi dan alasan yang sangat manusiawi, tapi kita perlu ingat bahwa prioritas dan icon Islam adalah rahmatan lil alamin, Allah yang Maharahman-rahim, mahabbah, kedamaian, keselamatan, dan peduli terhadap semua makhluk Allah SWT di jagat ini.

Kedangkalan orang terhadap hubungan agama dan budaya akan cenderung mudah melakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun non-fisik, baik atas nama agama atau kelompoknya. Mereka mengambil potongan ayat dan hadits Nabi SAW untuk membenarkan tindakannya yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Intinya, dengan pendidikan kultural ini Bina Insan Mulia ingin menghantarkan para santri menjadi manusia yang seutuhnya, manusia yang bertauhid, manusia yang berkemanusiaan, dan manusia yang aktif terlibat dalam pembangunan bangsa dan negara ini demi mencapai mardhotillah.

Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.

*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas