Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Gus Dubes Tunisia Zuhairi Misrawi dan Negeri Lumbung Peradaban Islam
Perkembangan moderasi Islam di Tunisia sangat kaya. Bahkan, Tunisia kini juga dikenal sebagai Bumi Maqashid Syariah.
Editor: Husein Sanusi
Ia menegaskan, saat Soekarno datang pertama kali tiba, warga Tunisia berjejer-jejer di pinggir jalan. Mereka bersuka-cita melihat senyum merekah bapak Proklamator Indonesia.
Merekapun mengelu-elukan Bung Karno dengan identitas peci hitamnya.
Lantas, apa lagi yang menghubungkan Indonesia dan Tunisia?
Gus Dubes menambahkan ceritanya, bahwa perkembangan moderasi Islam di Tunisia sangat kaya. Bahkan, Tunisia kini juga dikenal sebagai Bumi Maqashid Syariah.
Maksudnya, perkembangan Islam Moderat dan Maqashid Syariah tidak bisa dipisahkan.
Keduanya berkembang pesat di Tunisia, yang melahirkan para intelektual muslim besar. Salah satunya adalah Muhammad Thahir bin 'Asyur (1879-1973), seorang ahli fikih.
Siapa yang tidak kenal Ibnu ‘Asyur? Karya-karya Ibnu ‘Asyur banyak diajarkan di pondok-pondok pesantren se-Indonesia. Antara lain kitabnya yang berjudul: Maqashid al-Syari'ah al-Islamiah, Ushul al-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam, Qishshah al-Mawlid, dan lainnya.
Baca juga: Diplomat Sufistik
Dari sekian yang menarik dari pandangan Ibnu Asyur adalah tentang asas masyarakat Islam, yang diatulis dalam kitabnya berjudul Ushul al-Nizham al-ijtima’I fi al-Islam.
Menurut Ibnu Asyur, fitrah adalah sifat paling utama yang harus dijadikan dasar pijakan universal bagi semua hal yang berkaitan dengan Islam (Ibnu 'Asyur, Ushul al-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam, Tunis: Syirkat al-Tunisiah, Muassasah Wathaniah li al-Kitab, 1985, 21).
Jika fitrah ini dijadikan dasar segala-galanya, menurut Ibnu Asyur, tidak perlu lagi pada kaidah-kaidah khusus, yang sudah dibangun oleh para ulama terdahulu. Semua kaidah terdahulu hanya perlu dipakai sebagai teori pembantu.
Sedangkan kaidah-kaidah pentingnya harus terus dikembangkan oleh para alim ulama kontemporer. Jadi, peran pemikir Islam akan terus dinamis seiring perkembangan zaman (Ibnu ‘Asyur, Ushulal-Nizham, 1985: 72-73).
Bagaimana prinsip dasar sosial Islam dari Ibnu ‘Asyur ini berguna untuk konteks masyarakat Indonesia?
Jawabannya tentu terkait dengan konteks muslim Indonesia yang plural.
Gagasan yang mengedepankan substansi sangat dibutuhkan. Gagasan Ibnu Asyur tentang masyarakat Islam sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.