Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Memunculkan Tiga Alternatif Paslon Capres, Poros PKB-NU Harus Bersatu
Nasionalisme-Islam tradisionalis (berbasis desa) seperti PKB belum memunculkan figurnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan
Editor: Husein Sanusi
Memunculkan Tiga Alternatif Paslon untuk Menyambut Kemenangan PKB-NU
*Oleh: DR. KH. Aguk Irawan, Lc. MN, (Penulis dan Budayawan)
TRIBUNNEWS.COM - Dua kubu yang secara ideologis sudah jelas, Anis Baswedan dan Ganjar Pranowo, dengan mantap maju ke bursa pemilihan presiden. Bisa dikatakan, Anis mewakili Islamisme kota dan Ganjar representasi Nasionalisme abangan.
Sementara pihak Nasionalisme-Islam tradisionalis (berbasis desa) seperti PKB belum memunculkan figurnya. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan. Masih banyak alternatif strategi yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya soal background dukungan.
Anis Baswedan yang Islamisme-kota telah mendapatkan dukungan dari partai Nasionalis, Nasdemnya Surya Paloh dan PKS. Sedangkan Ganjar yang Nasionalisme-abangan juga mendapat dukungan dari partai Islamis, walaupun malu-malu kucing seperti PPP siap merapat ke PDIP.
Namun yang lebih unik dari semua itu adalah keputusan akhir partai Gerinda yang Nasionalis. Jika kemudian Gerindra mengajukan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden, maka tidak ada kreatifitas di sana. Sebab, PDIP sesama Nasionalis telah melakukan hal yang sama.
Sebaliknya, kreatifitas pilihan politik akan lebih berwarna bila ada alternatif ketiga yang bukan Nasionalisme abangan seperti Ganjar-PDIP dan bukan Islamisme-kota seperti Anis Baswedan-PKS. Alternatif ketiga tersebut adalah kubu Nasionalis-Islam tradisional yang santri dan berbebasis suara mayoritas di desa, seperti PKB dan lainnya.
Jika kubu Nasionalis-Islamisme tradisional yang santri tersebut muncul, maka pertarungan ideologi yang sesungguhnya akan terjadi di tahun 2024 nanti. Tidak sekedar pertarungan politik pragmatis transaksional seperti banyak pengamat katakan, tetapi ideologi juga tampil sebagai variabel kekuatan.
Tentu saja Pemilu Presiden tidak akan sepenuhnya idealis dan ideologis. Kepentingan pragmatis dan transaksional akan turut mewarnai. Pada level pragmatis transaksional ini, kita juga bisa membaca background pendukung PKB yang terbesar, warga Nahdliyyin.
Di mata Nahdliyyin, pilihan yang terpampang di depan mata ada dua: pertama, Ganjar Pranowo yang Nasionalisme abangan dengan massa pendukung yang juga Islamis. Kedua, Anis Baswedan yang Islamisme kota dengan massa pendukung yang Nasionalis, sebut saja simpatisan Nasdem
Namun, di tengah dua pilihan tersebut tidak ada ruang bagi kepentingan tradisionalis santri seperti Nahdliyyin. Jika dipaksakan untuk memilih dua pilihan yang tersedia (Ganjar dan Anis), maka itu sama saja mendukung kepentingan orang lain di saat kepentingan sendiri tersedia.
Karena itulah, salah satu pilihan yang harus keluar adalah menampilkan representasi kepentingan kelompok sendiri, yaitu kelompok tradisionalis santri dengan basis nahdliyin-desa dengan partainya PKB. Dengan begitu, Nahdliyyin bisa menjadi alternatif ketiga di luar Islamisme kota dan Nasionalis abangan dengan menjadi kubu Nasionalis-Islamme santri tradisionalis.
Pada titik ini, kubu ketiga akan mensolidkan hubungan PKB-NU di satu sisi. Di sisi lain, kubu ketiga (PKB-NU) juga tinggal memilih pendukung dari massa manapun. Sebut saja dari kubu Nasionalis seperti Golkar, yang belum terafiliasi ke Islamis seperti Nasdem.
Kubu ketiga (PKB-NU) dapat menggalang koalisi dari kubu Islamis manapun, dengan catatan belum terafiliasi ke kubu nasionalis seperti kasus PPP. Bahkan, Kubu Ketiga (PKB-NU) bisa menjaring dukungan dari dua-duanya (Islamis dan Nasionalis). Yang terpenting, PKB hadir sebagai alternatif ketiga di luar Anis (Islamis) dan Ganjar (Nasionalis).
Seandainya ada tiga Paslon: 1) Nasionalis, 2) Islamis, dan 3) Nasionalis-Islam santri yang tradisionalis maka NU-PKB akan solid. Soliditas ini adalah harga paling mahal. Bukan saja demi kepentingan pragmatis Pilpres tetapi dalam dimensi apapun, "bersatu teguh bercerai runtuh."
Demi tegaknya keteguhan yang akan berbuah kemenangan itu, PKB-NU harus membuat porosnya sendiri; bukan sekadar ikut partai Nasionalisme abangan yang mengusung Ganjar dan bukan pula ikut partai Islamisme yang mengusung Anis. Saatnya Nasionalis-Islam mempunyai Calon Presiden-nya sendiri. Bisa saja Cak Imin-Prabowo atau Cak Imin-Erlangga. Wallahu'alam bishawab[]