Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Raja Bahrain ke Rusia Sinyal Kuat Tergerusnya Hegemoni AS di Timur Tengah
Raja Bahrain Hamad bin Isa al-Khalifa meminta Rusia turut serta dalam konferensi perdamaian Palestina yang digagas Liga Arab.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Oleh karenanya bisa disimpulkan inisiatif Bahrain ini benar-benar bertolakbelakang dengan sikap kebanyakan negara barat yang mendukung Ukraina serta Israel.
Rusia dipandang sebagai elemen yang sangat menentukan dalam peta politik internasional, selain China tentunya.
Dalam satu decade terakhir, sikap dan pandangan kekuatan Timur Tengah mulai bergeser orientasinya.
Tidak semata tergantung lagi pada kekuatan barat –AS dan sekutu utamanya-- yang hegemonik dan memperlihatkan watak kolonialis imperialis.
Hubungan AS dengan negara-negara kunci di Timur Tengah setelah Perang Dunia II lebih bersifat subordinatif.
AS bertindak sebagai beking militer atau pelindung para elite yang berkuasa, dengan imbal balik konsesi minyak dan kontrol wilayah.
Konflik dan ketegangan sengaja diciptakan dan digoreng-goreng. Sosok kontroversial Moammar Khadaffi dan Saddam Hussein dikapitalisasi untuk menaku-nakuti penguasa Arab.
Persaingan Arab versus Iran dibesar-besarkan, dipancing-pancing lewat isu sectarian persaingan Sunni-Syiah.
Revolusi Musim Panas Arab (Arab Spring) yang dimulai di Tunisia, turut memantik berbagai perubahan sikap elite Arab.
Para penguasa Arab yang datang dari dinasti-dinasti tertentu, menyadari bahaya Arab Spring, dan mulai menghitung siapa paling diuntungkan dari situasi ini.
Semakin lama, para elite Arab juga menyadari betapa konflik-konflik yang menghancurkan Timur Tengah diciptakan barat, demi melanggengkan hegemoni dan kontrol kekuasaan kawasan.
Kelompok kejam ISIS dibangkitkan di Mosul Irak, membesar, lalu menebarkan ketakutan di wilayah Arab. Dari Irak, ISIS bergerak ke Suriah.
Presiden Bashar Assad digoyang dan hendak didongkel menggunakan kehadiran ISIS, dan kelompok-kelompok bersenjata fundamentalis seperti Al Nusra, Al Qaeda, dan kelompok Kurdi.
Kelompok-kelompok Islam bersenjata itu menjadi proksi negara Arab, Turki, AS, Inggris dan sekutunya yang menghendaki destabilitas Suriah.