Anggota DPR: Mendag Jangan Buang Badan
Stok minyak goreng masih langka di pasaran meski pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET).
Terkait hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR, Mukhtarudin menyoroti kinerja Menteri Perdagangan, M Lutfi.
Menurutnya jika alasan kelangkaan minyak goreng ini penyebabnya adalah soal kebijakan B30, seharusnya Mendag itu tahu bahwa B30 itu programnya presiden.
“Menteri perdagangan harus fokus kepada tugas dan kewenangannya. Jangan malah buang badan mengkritik kementerian lain. Kalau sudah buang badan begini jangan-jangan memang tanda-tanda inkompetensi,” kata Mukhtarudin, Senin (7/2/2022).
Seharusnya kata Mukhtar, Mendag tahu bahwa penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter.
"Ini tidak mengganggu produksi minyak goreng,” ujar Mukhtar.
Jadi lanjutnya, Menteri, apalagi Dirjen tidak etis curhat ke media apalagi mengkritik program presiden sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng.
Apalagi dari 47 juta liter produksi CPO kita, hanya 7 juta liter yang dialokasikan untuk biodiesel B30.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia(GAPKI), Eddy Martono menampik bahwa penerapan program biodiesel mengganggu pasokan atau harga minyak goreng dalam negeri.
“Yang menyebabkan harga minyak goreng tinggi memang karena harga minyak nabati internasional sedang tinggi,” jelasnya.
Eddy juga membantah bahwa pengusaha lebih suka menyuplai ke biodiesel ketimbang minyak goreng, “Program B30 itu bersifat mandatori dan volume ditentukan pemerintah,” ujarnya.
Peneliti Senior LPEM FEB-UI, Mohamad Revindo juga menjelaskan bahwa permasalahan harga minyak goreng yang tak kunjung turun disebabkan karena ketidakmampuan Kementerian Perdaganganan melakukan distribusi dengan baik.
“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Mohamad Revindo, peneliti senior LPEM FEB-UI.