TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Kamis (24/2) ditutup merosot 1,48 persen atau 102,23 poin ke posisi 6.817,82.
Sepanjang perdagangan, IHSG bergerak pada kisaran 6.758 hingga 6.929, di mana terdapat 109 saham menguat, 492 saham melemah, dan 82 saham tidak mengalami perubahan.
Adapun nilai perdagangan mencapai Rp 21,17 triliun dengan 31 miliaran saham yang ditransaksikan oleh pelaku pasar sebanyak 2 jutaan kali. Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis mengatakan, perang Rusia - Ukraina mengganggu psikologis pasar dan akhirnya terjadi aksi panic selling dari investor.
Baca juga: Lancarkan Operasi Militer ke Ukraina, Rusia Terancam Sanksi Ekonomi dari Inggris dan AS
"Investor untuk saat ini bisa melakukan wait and see terlebih dahulu, sambil menunggu bagaimana konflik antara Rusia dan Ukraina ini," ujar Azis saat dihubungi Tribun.
"Atau mungkin menyiapkan cash sambil menyicil saham-saham yang sudah turun dalam dan memiliki fundamental yang kuat," sambungnya.
Akan tetapi terdapat sejumlah saham yang mengalami kenaikan signifikan. Tercatat emiten berbisnis perminyakan seperti PT Elnusa Tbk (ELSA) naik 12,33 persen ke level Rp 328 per saham, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) naik 7,65 per saham. Kemudian, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) melonjak 13,39 persen ke posisi Rp 635 per saham, dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) naik 6,08 persen ke level Rp 785 per saham.
Abdul Azis mengatakan, adanya invasi Rusia ke Ukraina membuat emiten yang bergerak sektor komoditas khususnya minyak diuntungkan. "Kita ketahui juga Rusia negara dengan produsen minyak terbesar, jika ada gangguan pasokan maka harga minyak juga akan naik," kata Azis.
Harga minyak mentah dunia juga semakin mendidih akibat invasi Rusia ke Ukraina hingga akhirnya melebihi level 100 dolar Amerika Serikat (AS) per barel. Harga minyak mentah hingga tembus melampaui level US$ 100 per barel ini terjadi pertama kalinya sejak 2014 silam. Kenaikan harga komoditas itu disebut-sebut bakal menjadi pukulan ganda bagi ekonomi dunia lantaran menekan prospek pertumbuhan dan menaikkan tingkat inflasi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk dapat menjaga harga bahan bakar minyak (BBM) akibat kenaikan harga minyak dunia. "BBM, Pertamax, Pertalite juga bisa harus terjaga hingga akhir 2022," ujarnya.
Sebab, pada asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), harga minyak hanya dipatok 63 dolar AS per barel. "Gap antara harga minyak yang ditetapkan APBN dengan riil di lapangan saat ini terlalu jauh, sehingga ada pembengkakan subsidi energi signifikan," kata Bhima.
Karena itu, dirinya mendesak pemerintah lakukan APBN perubahan untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator, termasuk juga nilai tukar rupiah dan inflasi. Menurut dia, inflasi bisa lebih tinggi dari perkiraan dan pemerintah bisa lakukan antisipasi, seperti melakukan tambahan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN).
"Tambahan dana PEN, yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan energi ke dalam komponen anggaran PEN. Sebab, ini serius mengancam sekali terhadap pemulihan ekonomi di 2022," pungkas Bhima.
Baca juga: Rusia-Ukraina Perang, Bagaimana Dampak Terhadap Perekonomian dan Pasar Finansial Indonesia?
Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah ke level Rp 14.391 dari penutupan sebelumnya di level Rp14.337 per dolar AS. Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah kemungkinan dibuka berfluktuasi namun ditutup melemah direntang Rp14.370 hingga Rp14.420 per USD.
Menurut Bhima, invasi Rusia ke Ukraina akan menimbulkan instabilitas dan tentunya merugikan proses pemulihan dan moneter di Indonesia, karena juga bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga di negara-negara maju. Dampak kedua adalah efek dari harga komoditas, di mana minyak mentah sudah tembus di atas 100 dolar Amerika Serikat (AS) per barel.
Bhima menambahkan, kenaikan harga minyak akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya logistik hingga barang-barang kebutuhan pokok lebih mahal. "Efeknya adalah harga kebutuhan pokok semakin meningkat, daya beli semakin rendah, dan subsidi energi membengkak cukup signifikan," pungkasnya.
Keuangan Pemerintah
Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, dampak perang Rusia dan Ukraina akan mengerek harga-harga barang konsumsi, sehingga daya beli masyarakat tergerus dan ekonomi akan terganggu. Menurut dia, pemerintah Indonesia juga mesti ekstra waspada karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jadi taruhannya jika tidak antisipasi langkah invasi Rusia ke Ukraina.
"Keuangan pemerintah pasti akan terganggu. Penerimaan bisa turun karena penurunan pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Baca juga: Vladimir Putin Klaim Invasi Ke Ukraina Bentuk Pembelaan Diri Rusia
Selain itu, pengeluaran atau belanja negara bisa bertambah, karena pemerintah akan mengambil langkah-langkah stimulus untuk membantu masyarakat. Lebih lanjut, Ariston mengungkapkan, bila perang di Eropa Timur semakin meluas, ini akan mendorong pasar menarik diri dari aset-aset berisiko, termasuk Indonesia.
Hal ini dinilainya akan mendorong yield atau tingkat suku bunga di aset berisiko meninggi, sehingga biaya peminjaman uang akan meningkat. Kemudian, dia menambahkan, harga energi dan komoditas lainnya juga sudah meningkat sejak rencana invasi Rusia ke Ukraina beberapa waktu lalu.
"Dengan serangan yang baru dimulai ini, harga komoditi semakin meningkat. Harga energi dan komoditi yang diproduksi Rusia yakni minyak mentah, gas, serta harga logam nikel, baja, emas, paladium, platinum, alumunium, tembaga, dan kobalt akan mengalami kenaikan," pungkas Ariston.
Analis PT Kanaka Hita Solvera (KHS) Andhika Cipta Labora menjelaskan invasi Rusia ke Ukraina tidak berdampak signifikan terhadap pasar modal Indonesia. "Kondisi geopolitik Rusia dan Ukraina yang memanas tidak akan berdampak signifikan terhadap pasar modal Indonesia," kata Andhika.
Konflik kedua negara tersebut, kata Andhika, jika dilihat secara fundamental di dalam negeri maka dapat membawa kontribusi positif bagi Indonesia. "Hal ini karena Indonesia merupakan penghasil komoditas terbesar di dunia," ujarnya.
Namun, Andhika mengimbau pelaku pasar untuk menghindari saham-saham memiliki market cap besar yang bisa menjadi penekan indeks. "Para pelaku pasar bisa mencermati saham-saham di sektor komoditas, karena dengan adanya perang akan menaikan harga komoditas," ujar Andhika.
Terkait melemahnya IHSG pada sesi pertama hari ini hingga 1 persen lebih, Andhika melihat hanya bersifat sementara akibat baru dimulainya perang Rusia dan Ukraina. "Melemahnya IHSG dan mayoritas indeks Asia pada hari ini karena disebabkan oleh memanasnya hubungan Rusia dan Ukraina yang membuat para pelaku pasar menjadi khawatir," ucapnya. (Tribun Network/sen/van/wly)