TRIBUNNEWS.COM - Rezim militer Myanmar nampaknya berencana mengambil hati warga Muslim Rohingya di Bangladesh yang kabur karena disiksa mereka setelah muncul gerakan anti-kudeta.
Melansir laporan Asia Times (9/2/2021), militer berpikir bisa 'memainkan' minoritas Muslim Rohingya baik yang ada di Bangladesh maupun di Myanmar.
Diketahui masyarakat Rohingya mengalami penyerangan brutal oleh militer pada 2016 hingga 2017 silam.
Dilaporkan, militer mengirim surat kepada pemerintah Bangladesh melalui dubesnya di Myanmar untuk menjelaskan alasan kudeta.
Surat ini dikirim pasca pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pejabat sipil lainnya ditangkap.
Surat itu mengatakan bahwa militer melakukan kudeta karena Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi melakukan kecurangan pemilu.
Dalam surat yang isinya belum dipublikasikan secara lengkap itu, rezim militer menyebutkan kemungkinan solusi untuk menyelesaikan krisis Rohingya.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Kutuk Kudeta Tapi Tak Kasihani Aung San Suu Kyi: Kami Menyadari Karakter Aslinya
Baca juga: PBB Larang Malaysia Deportasi Pengungsi di Tengah Situasi Politik Myanmar yang Memanas
Ini mendorong Menteri Luar Negeri Bangladesh Abdul Momen, pada 6 Februari lalu mengatakan: "Ini adalah kabar baik. Ini awal yang bagus."
Di negara bagian Rakhine di Myanmar, beberapa komandan militer lokal mengunjungi daerah Muslim Rohingya di dekat perbatasan Bangladesh.
Selain itu mereka juga mengunjungi sebuah kamp pengungsi di ibu kota negara bagian Sittwe.
Menurut laporan United News Bangladesh (UNB) pada 5 Februari lalu, para komandan menyumbangkan uang 500.000 kyat (Rp 4,9 juta) dan makanan untuk masjid di Aung Mingalar Quarter.
Masjid itu merupakan rumah bagi ribuan pengungsi internal (IDP) sejak kerusuhan antara Muslim dan Buddha pada 2012.
Kunjungan militer juga dilaporkan terjadi di Maungdaw, kota negara bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh.
Para komandan dilaporkan mengatakan kepada warga Rohingya bahwa: Aung San Suu Kyi yang harus disalahkan atas eksodus besar-besaran etnis Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh pada 2017, bukannya militer.