TRIBUNNEWS.COM, CHISINAU – Jaksa Penuntut di Chisinau menahan mantan Presiden Moldova, Igor Dodon atas tuduhan korupsi.
Namun sejumlah kalangan melihat alasan proses hukum atas Dodon itu sangat politis, karena sikap dan pernyataan Dodon dianggap pro-Rusia.
Saat penahanan ini berlangsung, tak satupun pemimpin Moldova berada di negarannya. Presiden Maia Sandu tengah rekreasi di AS.
Perdana Menteri Moldova Natalia Gavrilitsa ada di Davos, Swiss. Sementara Ketua DPR Igor Grosu menghilang dari komplek pertaniannya.
Kabar penahanan Igor Dodon diwartakan Sputniknews lewat kanal Telegram yang bisa diakses Selasa (24/5/2022) malam WIB.
DeutscheWelle dan euractiv.com mengabarkan perkembangan yang sama terkait penahanan tokoh Partai Sosialis Komunis Moldova itu.
Baca juga: Provokasi di Transnistria Bisa Seret Perang Rusia-Ukraina Melebar ke Moldova
Baca juga: Intel dan Tentara Bayaran Asing Berkeliaran di Moldova dan Transnistria
Baca juga: Moldova Mulai Kerepotan Tampung Pengungsi Ukraina, Berharap AS Beri Bantuan
DW mewartakan Igor Dodon ditangkap atas tuduhan melakukan pengkhianatan tingkat tinggi. Dodon ditahan sekurangnya selama 72 jam pertama setelah penangkapan di rumahnya.
Informasi ini dipublikasikan outlet media lokal Deschide.MD mengutip keterangan penjabat Jaksa Agung Moldova Dumitru Robu.
Igor Dodon terpilih sebagai Presiden Moldova pada 2016 dan menjabat sampai dia kalah dalam pemilihan 2020 dari Maia Sandu.
Maia Sandu ini mantan pejabat Bank Dunia yang mencalonkan diri sebagai pendukung antikorupsi dan pro-Uni Eropa.
Kantor berita Interfax memberitakan, selain menggeledah rumah Igor Dodon, petugas juga mendatangi markas Serikat Bisnis Moldova-Rusia, yang didirikan Dodon pada 2022.
Interfax melaporkan penangkapan itu terkait dibukanya kembali penyelidikan atas apa yang disebut urusan bertumpuk terkait bukti video suap.
Moldova di persimpangan jalan, saat elite nasionalnya menjauh dari Moskow dan condong ke Uni Eropa.
Presiden Maia Sandu absen di acara peringatan Victory Day 9 Mei, yang sebelumnya selama puluhan tahun selalu dihadiri pemimpin pemerintahan Moldova.
Saat Hari Kemenangan itu dirayakan, Maia Sandu mengaku tengah sakit. Namun hari berikutnya ia menemui Sekjen PBB Antonio Gutteres.
Posisi Moldova yang berada dekat perbatasan Ukraina dan Rusia menjadi sangat strategis. Uni Eropa telah menawarkan bantuan.
Sementara AS sebagai pemimpin NATO, menyatakan siap memasok senjata ke Moldova. Hal itu disampaikan Gregory Meeks, Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS.
Meeks membuat pernyataan pada konferensi pers di Chisinau pekan lalu, saat ia menjadi bagian delegasi anggota parlemen AS untuk berbicara dengan pejabat tinggi dari Moldova.
“Kita perlu berbicara dengan pemerintah Moldova. Kita harus memastikan kita setuju dengan apa yang perlu dilakukan,” kata tokoh Demokrat New York itu.
Ia merujuk gagasan kemungkinan pengiriman senjata AS ke bekas republik Soviet itu.
“Saya tidak ingin melampaui apa yang diminta dan diminta pemimpin Moldova. Saya pikir perlu ada dialog, percakapan antara kedua negara kita,” tambahnya.
“AS akan mendukung Moldova,” kata Meeks, menambahkan persatuan dan kerja sama seperti itu adalah alasan mengapa Ukraina berhasil dan kawasan ini akan berhasil.
Sementara Inggris sudah lebih maju, tengah melanjutkan pembicaraan untuk mempersenjatai tetangga Ukraina itu.
Pada Jumat, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengungkapkan London ingin melihat Moldova dilengkapi (senjata) standar NATO.
“Negara kecil itu bisa menjadi korban ambisi Vladimir Putin untuk menciptakan Rusia yang lebih besar,” klaim Liz Truss.
Moldova adalah negara berpenduduk 2,6 juta orang, terjepit di antara Ukraina dan Rumania.
Selama ini Moldova memiliki netralitas yang diabadikan dalam konstitusinya. Negara ini bukan anggota UE atau NATO, dan dianggap sebagai salah satu negara termiskin di Eropa.
Selama konflik Rusia dan Ukraina, telah terjadi ledakan dan provokasi lain di wilayah Transnistria yang memisahkan diri dari Moldova.
Transnistria mendeklarasikan kemerdekaan dari Chisinau pada awal 1990-an.
Wilayah itu, yang membentang di sepanjang perbatasan Ukraina, mempertahankan hubungan yang kuat dengan Moskow dan menampung pasukan penjaga perdamaian Rusia.
Pada akhir April, Kiev menawarkan bantuan kepada Chisinau untuk mengintegrasikan kembali Transnistria secara paksa.
“(Kami) akan berhasil entah bagaimana,” kata Alexey Arestovich, penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Ia menambahkan operasi semacam itu hanya dapat dilakukan jika pihak berwenang Moldova memintanya.
Chisinau menolak proposal tersebut, bersikeras penyelesaian masalah Transnistria dapat dicapai lewat cara politik dan hanya atas dasar solusi damai.(Tribunnews.com/Sputnik/DW/xna)