Tragisnya, sang ibu ditemukan meninggal sesaat setelah melahirkan di bawah puing-puing bangunan.
Pria lain kemudian mengejar ke penyelamat bayi dengan selimut hijau yang lusuh agar bayi tersebut tetap hidup dan hangat di suhu di bawah nol derajat saat itu.
Sementara, kerumunan lain tampak heran saat menyaksikan keajaiban dan tragedi yang terungkap saat proses evakuasi.
Bayi itu adalah satu-satunya yang selamat dari anggota keluarga terdekatnya.
Media lokal memberitakan, ibu hamil tersebut adalah pengungsi dari wilayah Deir Ezzor timur Suriah, yang menjadi daerah konflik peperangan.
Lebih lanjut, bayi itu dibawa untuk mendapatkan perawatan di kota terdekat Afrin, sementara anggota keluarga lainnya, ayahnya bernama Abdullah, ibunya bernama Afraa, empat saudara kandung dan satu orang bibi disemayamkan di rumah kerabat dan dimakamkan pada Selasa (7/2/2023).
Suwadi, kerabat bayi itu meratapi kepergian Abdullah dan Afraa.
"Kami mengungsi dari (kota timur yang dikuasai pemerintah) Deir Ezzor. Abdullah adalah sepupu saya dan saya menikah dengan saudara perempuannya," kata Suwadi, dikutip Tribunnews dari Daily Mail, Rabu (8/2/2023).
Rumah keluarga itu adalah salah satu dari sekitar 50 rumah di Jindayris yang rata dengan tanah akibat gempa, laporan dari seorang koresponden AFP.
Hani Maarouf, dokter Anak yang merawat bayi itu mengungkapkan kondisinya.
Bayi itu dirawat dalam inkubator rumah sakit di Afrin.
Tubuhnya penuh luka dengan perban melilit di tangan kiri dan selang infus yang terpasang.
Dahi dan jari-jarinya masih membiru karena kedinginan.
"Dia sekarang stabil. Dia memiliki beberapa memar dan luka di sekujur tubuhnya. Dia juga datang dengan hipotermia karena cuaca yang sangat dingin. Kami harus menghangatkannya dan memberikan kalsium," kata Maarouf.