Akibatnya, segala jenis “patriot turbo yang marah” cenderung menganggap kecelakaan pesawat Prigozhin sebagai sinyal bahwa Putin siap untuk mengambil tindakan keras tidak hanya terhadap oposisi liberal anti-perang, tetapi juga terhadap para pendukung perang militan yang menganggap dirinya sebagai presiden tidak tegas dan tidak cukup tangguh.
Pada saat yang sama, jelas bahwa Putin masih berusaha keluar dari krisis Wagner dengan tetap bertindak setengah hati dan ambigu.
Jadi, pemimpin pemberontak itu dibunuh atau mungkin tidak.
Sekutu utama para pemberontak di antara para pemimpin militer ditangkap attau mungkin tidak.
Segalanya tampaknya merupakan persiapan untuk mobilisasi militer skala besar. Tapi, di saat yang sama, ada rencana untuk menghindari kabar buruk menjelang Pilpres 2024.
Dengan demikian, hasil keseluruhan dari dua bulan sejak pemberontakan Wagner adalah meskipun Prigozhin telah kalah, Putin masih berjuang untuk menang melwan musuh yang bertumbuh seribu.
Pemimpin Rusia tersebut ternyata tidak mampu mengatasi beberapa penyebab mendasar yang memicu krisis Wagner.
Ia gagal mengatasi Prigozhinisme di benak masyarakat dan di kalangan elitenya sendiri.
Ia juga tidak cukup “menghargai” kebijakan dan retorikanya dengan mengambil pendekatan yang lebih tanpa kompromi untuk memenangkan perang.
Setelah pesawat Prigozhin jatuh, Putin diyakini oleh banyak orang telah menunjukkan ketangguhannya.
Namun, lawan-lawannya yang lebih agresif kemungkinan besar akan berpikir bahwa aksi Putin itu ditujukan terutama untuk menyembunyikan kelemahan, keragu-raguan, dan sikap setengah hati yang terus-menerus.
(oln/TMT/*)