Bombardemen Israel Meluas, Damaskus Juga Dibom, Presenter TV Tewas
TRIBUNNEWS.COM - Israel kian memanaskan situasi konflik di Timur Tengah dengan memperluas jangkauan serangan udaranya.
Di tengah bombardemen terhadap Gaza, Palestina, Lebanon, dan Yaman, Israel juga mengintensifkan serangan udara ke Suriah.
Baca juga: Media Israel: Tentara IDF Cemas, 40.000 Milisi Suriah-Irak-Yaman Mau Datang ke Golan Bantu Hizbullah
Dalam laporan terbaru, setidaknya tiga orang tewas dan sembilan lainnya cedera pada Selasa (1/10/2024) dini hari dalam serangan udara Israel yang menargetkan beberapa lokasi di ibu kota Suriah, Damaskus, menurut kantor berita pemerintah Suriah.
"Musuh Israel melancarkan serangan udara menggunakan pesawat tempur dan pesawat nirawak dari arah Dataran Tinggi Golan yang diduduki, menargetkan beberapa titik di Damaskus," Kantor Berita Arab Suriah (SANA) mengutip sumber militer yang tidak disebutkan namanya.
"Sistem pertahanan udara Suriah mencegat sebagian besar rudal dan pesawat nirawak Israel," sumber itu menambahkan.
Dilaporkan juga bahwa "agresi Israel menewaskan tiga warga sipil dan melukai sembilan lainnya, selain kerusakan signifikan pada properti pribadi."
Sebelumnya, Organisasi Umum Radio dan TV mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa presenter televisi, Safaa Ahmad tewas dalam "agresi Israel di Damaskus."
Televisi pemerintah Suriah melaporkan bahwa salah satu serangan udara menargetkan sebuah kendaraan di daerah Mezzeh Western Villas, yang mengakibatkan kematian Ahmad, yang tinggal di sebuah apartemen di daerah yang menjadi sasaran.
Kantor berita Suriah sebelumnya melaporkan bahwa pertahanan udara Suriah mencegat target musuh di langit Damaskus sebanyak tiga kali malam itu.
Israel belum mengomentari serangan udara tersebut.
Israel telah melakukan serangan udara di Suriah sejak 2011 terhadap pasukan pemerintah, pasukan Iran, dan target Hizbullah.
Mengapa Israel Terus Melancarkan Serangan di Suriah?
Serangan ini menjadi lanjutan dari bombardemen udara yang dilakukan Israel, termasuk dua serangan terbesar dan paling mematikan terhadap Suriah pada awal April silam.
Saat itu, jet tempur Israel menembakkan rudal ke konsulat Iran di ibu kota Suriah, Damaskus yang menewaskan Mohammad Reza Zahedi, seorang jenderal komandan militer senior Iran.
Iran kemudian membalas dengan mengirimkan serangan langsung bersejarah yang melibatkan ratusan drone dan rudal dari jarak jauh yang menyasar pusat Israel di Tel Aviv.
Baca juga: Pakar Israel: Iron Dome Gagal Menghancurkan Satu Pun Rudal Iran
Mengapa Israel terus melancarkan serangan udara terhadap negara berdaulat dan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Militer Israel telah menyerang Suriah selama lebih dari satu dekade, mengambil keuntungan dari kekacauan negara itu pasca perang saudara yang dimulai pada tahun 2011.
Perang sebagian besar telah berakhir, dan dukungan Iran dan Rusia selama bertahun-tahun terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad telah membuatnya berkuasa di sebagian besar negara.
Namun Suriah masih terpecah, dengan berbagai faksi menguasai berbagai bagian negara, yang memberi Israel kesempatan untuk melancarkan serangan udara.
Ketika pemerintah al-Assad yang disetujui Barat berhadapan dengan pasukan Kurdi yang didukung AS, pasukan oposisi, operasi militer Turki di utara, dan ISIL (ISIS), Israel sering menggunakan Dataran Tinggi Golan yang diduduki untuk melancarkan serangan terhadap Suriah dan Lebanon – sementara rezim Assad tidak dapat menghentikannya.
Serangan tersebut semakin intensif sejak 2017 – hampir menjadi serangan mingguan – untuk menargetkan meningkatnya kehadiran dan pengaruh Iran dan Hizbullah di Suriah.
Iran, Hizbullah Lebanon, dan Suriah bersekutu melawan Israel dan pendukung militer dan keuangan utamanya, Amerika Serikat, bersama dengan kelompok bersenjata dan politik di Irak dan Yaman dalam apa yang disebut “poros perlawanan”.
Serangan ke Suriah Penting Bagi Israel
Dari kaca mata Israel, serangan terhadap Suriah dianggap punya faktor penting untuk melemahkan kekuatan "Poros Perlawanan"
Terlepas dari serangan langsung di Teheran yang menewaskan pemimpin Polit Biro Hamas, Ismail Haniyeh pada 31 Agustus 2024 silam, Israel juga telah melancarkan dua serangan terbesar dan paling mematikan terhadap Suriah.
Faktor Hamas telah meningkatkan frekuensi dan intensitas serangan Israel secara signifikan sejak dimulainya perang brutal di Gaza, dengan secara bebas menargetkan Iran dan sekutunya, Hizbullah, di Suriah, terutama di sekitar ibu kota, Damaskus, tempat adanya kehadiran dua elemen Poros Perlawanan tersebut.
Serangan udara Israel yang menghancurkan gedung konsulat Iran di Damaskus, menewaskan tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, termasuk dua jenderal yang memimpin Pasukan Elite Quds di Suriah dan Lebanon .
Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi merupakan penghubung utama antara IRGC dan Hizbullah, yang telah beroperasi dengan para pemimpin Hizbullah seperti Hassan Nasrallah dan Imad Mughniyeh, yang dibunuh oleh Israel, selama beberapa dekade.
Ini adalah pembunuhan tingkat tertinggi sejak komandan Pasukan Quds Mayor Jenderal Qassem Soleimani dibunuh oleh AS di Irak pada Januari 2020.
Pukulan terhadap IRGC terjadi setelah kepentingannya berulang kali dipukul di Suriah, dengan serangan pada akhir Desember yang menewaskan Razi Mousavi, komandan tinggi Pasukan Quds lainnya di Suriah.
Beberapa hari sebelum serangan terhadap konsulat Iran, militer Israel telah melancarkan serangan besar-besaran di provinsi utara Suriah, Aleppo, yang menewaskan sedikitnya 40 orang, sebagian besar dari mereka adalah tentara.
Serangan tersebut tampaknya mengenai depot senjata, yang mengakibatkan serangkaian ledakan yang juga menewaskan enam pejuang Hizbullah.
Serangan paling telak, tidak disanggah atau diiyakan Israel, adalah serangan di Teheran yang menewaskan Haniyeh.
Iran menegaskan akan kembali membalas Israel atas serangan ini, namun lewat cara, metode, dan waktu pelaksanaan yang hingga kini masih misterius.
Serangan terbaru Israel ke Suriah diduga juga terkait upaya melemahkan kekuatan pembalasan Iran.
Bakal Terus Ada Serangan Lanjutan Israel di Suriah
Serangan udara Israel yang meningkat terhadap Suriah diperkirakan akan terus berlanjut karena perang di Gaza – pendorong utama meningkatnya konflik di seluruh wilayah saat ini – belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir meskipun lebih dari 40.000 warga Palestina telah tewas dan mendapat kecaman internasional.
Pertahanan udara yang dikerahkan oleh militer Suriah berhasil menangkal dan mencegat beberapa serangan terhadap negara tersebut, tetapi gagal menghentikannya sepenuhnya.
Rusia mengutuk keras serangan udara Israel tetapi tidak melakukan tindakan apa pun terhadap serangan tersebut.
Aron Lund, seorang peneliti di lembaga pemikir Century International yang berbasis di AS, mengatakan serangan Israel yang lebih berani pada tingkat tertentu merupakan respons terhadap kemungkinan meningkatnya pengiriman senjata Iran ke Hizbullah melalui Suriah.
"Namun secara umum saya pikir hal ini mencerminkan Israel yang melepaskan diri dan mengerahkan lebih banyak upaya untuk melemahkan logistik Hizbullah dan Iran," katanya kepada Al Jazeera.
“Serangan terhadap konsulat Iran adalah bagian dari pola penargetan Israel yang lebih agresif.”
Perang Besar di Depan Mata, Kapan?
Pembalasan Teheran diyakini akan terjadi atas kematian Haniyeh, serangan terus-terusan Israel ke Suriah menjadi faktor percepatan pembalasan itu.
"Pun, Teheran berada di bawah tekanan untuk menanggapi (membalas) serangan terbaru Israel, tetapi ia berupaya menyeimbangkannya dengan keinginannya untuk menahan diri dari memperluas perang di Gaza di seluruh wilayah," tulis ulasan Al Jazeera.
Lund mengatakan respon Iran bisa berupa serangan terhadap kapal yang berafiliasi dengan Israel atau serangan di wilayah Kurdi Irak, hingga serangan terhadap misi diplomatik Israel di luar negeri atau serangan lebih lanjut oleh poros perlawanan di wilayah Israel – belum lagi serangan langsung terhadap Israel.
"Namun ada batasan terhadap seberapa besar kerusakan yang dapat dilakukan Iran terhadap Israel tanpa menggunakan alat yang dapat mengganggu keseimbangan konflik, mengundang eskalasi balasan Israel, dan berisiko terjerumus ke dalam konflik yang lebih luas," katanya.
Misalnya, serangan langsung terhadap Israel oleh Iran kemungkinan akan memicu serangan Israel di tanah Iran, sementara eskalasi melalui Hizbullah dapat memperparah risiko perang regional, kata Lund.
“Iran mungkin juga mulai memberi tekanan lebih besar pada pasukan AS di kawasan itu, seperti yang telah mereka lakukan di masa lalu. Itu akan menjadi cara untuk melakukan sesuatu yang nyata dan memberi insentif bagi upaya AS untuk menahan Israel. Namun, ada batasan sejauh mana mereka ingin melawan Amerika,” katanya, merujuk pada serangan terhadap kepentingan AS yang mereda setelah eskalasi besar pada Februari sialm .
Namun, Julien Barnes-Dacey, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, mengatakan eskalasi Israel akan mempersulit Teheran untuk menahan diri dari pembalasan yang lebih serius.
Terlebih, Israel dianggap Iran sebagai dalang serangan langsung di Teheran yang menewaskan Ismail Haniyeh.
Kedaulatan negara dan keamanan nasional jadi alasan kuat bagi Iran untuk melancarkan pembalasan yang digaungkan bakal 'dahsyat, tepat, dan terukur'.
"Selama beberapa bulan terakhir, kami telah melihat keinginan Iran untuk menjaga situasi tetap terkendali dan mencegah kekacauan dan konflik yang lebih luas, tetapi Teheran mungkin sekarang merasa perlu untuk menanggapi dengan lebih tegas guna mempertahankan kredibilitas postur pencegahannya," katanya kepada Al Jazeera.
“Iran tidak mungkin mempercayai pernyataan publik Barat yang mengutuk serangan tersebut mengingat dukungan kuat yang terus diberikan kepada Israel, termasuk melalui penyediaan persenjataan yang terus dilakukan Israel di Gaza dan wilayah tersebut.”
Invasi darat Israel ke Lebanon per 1 Oktober 2024 diyakini akan membuat Iran kemudian mengambil tindakan yang mengindikasikan terjadinya perang skala besar.
(oln/MNA/aja/SANA/*)