"Tahun ini saja, saya telah dihubungi berkali-kali oleh pasien yang baru didiagnosis menderita West Nile, mereka bertanya, 'Apa yang bisa kami lakukan?' Dan saya bilang, 'Tidak ada sama sekali'."
"Hal ini sangat menyakitkan hati saya karena harus memberi tahu mereka seperti itu," ucapnya.
Ketika membicarakan kurangnya tindakan pencegahan terhadap infeksi West Nile, mungkin salah satu ironi terbesar adalah bahwa vaksin yang aman dan sangat efektif telah tersedia untuk kuda dalam 20 tahun terakhir.
Antara tahun 2004 dan 2016, ada sembilan uji klinis dari berbagai kandidat vaksin untuk manusia, dua di antaranya diluncurkan oleh perusahaan farmasi Prancis Sanofi dan sisanya didanai oleh perusahaan bioteknologi, lembaga akademis, atau berbagai organisasi pemerintah AS.
Tapi, meskipun semuanya secara umum uji klinis vaksin itu ditoleransi dengan baik dan memicu respons imun, tidak satu pun dari uji klinis ini berhasil mencapai Fase 3.
Fase 3 adalah rintangan terakhir dan paling krusial sebelum vaksin bisa disahkan serta melibatkan pengujian apakah pengobatan tersebut efektif.
Uji klinis terakhir ini, yang disponsori oleh Institut Alergi dan Penyakit Menular Nasional AS, tidak menunjukkan kemajuan lebih jauh dari Fase 1—langkah pertama, yang biasa bertujuan untuk mengetahui apakah intervensi vaksin tersebut aman
Carolyn Gould, seorang petugas medis di Divisi Penyakit yang Ditularkan Melalui Vektor CDC di Fort Collins, Colorado, mengatakan bahwa wabah West Nile yang sporadis dan tidak bisa diprediksi telah menjadi rintangan besar.
Sebab virus tersebut beredar pada waktu tertentu untuk bisa membuktikan bahwa vaksinnya betul-betul berfungsi.
"Beberapa uji klinis diluncurkan saat situasinya sedang tidak banyak kasus," ujar Kristy Murray.
"Namun kemudian terjadi wabah pada tahun 2012 di mana kami memiliki lebih dari 2.000 kasus di Texas saja, dan lebih dari 800 di antaranya merupakan kasus yang parah."
"Jadi jika mereka menunggu beberapa tahun, mereka bisa mendapatkan suspek yang mereka butuhkan," lanjutnya.