News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Apa itu virus West Nile, penyakit mematikan yang belum ada vaksin obatnya pada manusia?

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Apa itu virus West Nile, penyakit mematikan yang belum ada vaksin obatnya pada manusia?

Carolyn Gould meyakini biaya pengembangan vaksin yang sangat besar, dikombinasikan dengan manfaat atau keuntungan finansial yang tidak pasti dari kacamata perusahaan farmasi, menjadi penghalang utama.

Tetapi, sejumlah alternatif yang memungkinkan ditawarkan dalam beberapa tahun terakhir.

Beberapa ilmuwan telah merekomendasikan program vaksin khusus untuk mereka yang berusia di atas 60 tahun karena mereka berisiko lebih tinggi terkena virus tersebut.

Sementara Carolyn Gould mengusulkan program vaksin ditujukan ke wilayah tertentu di AS—tempat nyamuk pembawa virus paling banyak ditemukan.

Selain itu, dia meyakini semakin banyak bukti seputar konsekuensi jangka panjang dari kerusakan neurologis yang disebabkan oleh virus West Nile bisa membuat pendanaan pengembangan vaksin menjadi lebih menarik.

Perkiraan terbaru menunjukkan beban ekonomi yang ditanggung pasien pengidap virus West Nile dan dirawat di rumah sakit mencapai US$56 juta (sekitar Rp876 miliar).

Dan biaya jangka pendek serta jangka panjang bisa melebihi $56 juta (sekitar Rp10 miliar( per pasien.

"Studi yang lebih baru memperlihatkan vaksin ini bisa menghemat biaya jika digunakan untuk kelompok berisiko tinggi di lokasi geografis tertentu," ujar Carolyn Gould.

"Dari sudut pandang produsen, penting untuk mempertimbangkan tingginya jumlah orang yang berisiko tinggi terkena penyakit virus West Nile dengan konsekuensi serius, saat melakukan prakiraan penjualan [vaksin]," sambungnya.

Mengingat banyaknya kematian dan cacat neurologis yang disebabkan oleh virus tersebut, Paul Tambyah, presiden International Society for Infectious Diseases, menggambarkan ketidakmampuan untuk menemukan solusi saat ini lantaran "kurangnya imajinasi".

"Semua orang berpikir Anda harus melakukan uji coba fase 3 besar-besaran di AS, tentu saja sulit untuk penyakit yang hanya muncul selama dua setengah bulan dalam setahun, yang juga tidak bisa diprediksi karena beberapa tahun kita mengalami wabah besar, dan tahun-tahun lainnya tidak," kata Tambyah.

Sebaliknya, Tambyah mengusulkan agar uji coba internasional besar-besaran dilangsungkan di ratusan lokasi uji coba yang berbeda, tidak hanya di AS tetapi juga di beberapa bagian Afrika—tempat virus tersebut endemik, sebagai cara yang lebih efektif untuk mengumpulkan bukti yang diperlukan.

Meskipun diakuinya diperlukan dana beberapa juta dolar untuk meluncurkan inisiatif semacam itu, dia berkata hal itu bisa dilakukan dengan bantuan kemitraan publik-swasta, yang menyatukan sumber daya dari berbagai pemerintah negara yang terkena dampak.

 

Termasuk perusahaan farmasi skala kecil dan menengah untuk membantu mengurangi risiko finansial yang terlibat, jika uji coba gagal membuktikan kemanjurannya.

"Jadi ada beberapa mekanisme yang memungkinan untuk mewujudkannya," ujarnya.

"Hanya diperlukan kemauan keras untuk melakukan sesuatu."

Yang sama mendesaknya adalah kebutuhan untuk menemukan perawatan yang lebih efektif bagi orang-orang yang mengalami penyakit serius akibat infeksi virus West Nile.

Kristy Murray mengatakan meskipun beberapa kandidat obat dikembangkan berdasarkan antibodi buatan terhadap virus yang disebut antibodi monoklonal, hasilnya tidak lebih baik daripada penelitian pada hewan pengerat.

Di mana perusahaan obat menghadapi rintangan rumit yang sama seperti produsen vaksin dalam merancang uji klinis yang sesuai.

Kristy Murray merasa kebutuhan yang paling mendesak adalah obat yang tidak hanya membersihkan virus tetapi juga bisa digunakan untuk meredakan peradangan hebat di dalam otak yang menyebabkan banyak komplikasi neurologis.

Ia menduga dalam beberapa kasus virus tersebut membuat tempat persembunyian di dalam sel-sel saraf otak yang tidak mudah diserang.

"Virus tersebut melewati sawar otak darah dan membuat tempat persembunyian di dalam otak, dan di situlah terjadi peradangan dan kerusakan," jelasnya.

"Masalahnya adalah banyak antivirus yang ada tidak bisa mencapai otak sehingga tidak dapat mencapai tempat yang disasar."

Akan tetapi, ada kemungkinan alternatif.

Paul Tambyah merasa bahwa kita bisa mengambil banyak pelajaran dari pandemi Covid-19, di mana meskipun terjadi perlombaan "senjata" global untuk mengembangkan antivirus terhadap virus Sars-CoV-2, salah satu pengobatan yang paling efektif ternyata adalah steroid murah yang disebut deksametason.

Kemanjuran obat itu diidentifikasi oleh uji coba Recovery di Inggris, yang meneliti berbagai kemungkinan pengobatan.

Setelah merawat banyak pasien dengan radang otak sebagai bagian dari perannya sebagai konsultan penyakit menular senior di National University Hospital di Singapura, Paul Tambyah yakin bahwa menemukan steorid yang tepat untuk mengurangi peradangan pada akhirnya bisa membantu banyak pasien untuk pulih.

"Virus West Nile adalah flavivirus dan saat ini tidak ada antivirus berlisensi untuk semia flavivirus - demam berdarah, Zika, atau ensefalitis Jepang," jelasnya.

"Saya pikir steroid mungkin akan menjadi masa depan."

Namun, pada akhirnya, lebih banyak data diperlukan untuk mengidentifikasi obat yang paling tepat untuk mengatasi virus West Nile, dan Paul Tambyah menyarankan bahwa hal ini bisa dilakukan melalui studi yang serupa dengan uji coba Recovery.

"Kami berpotensi merekrut pasien dengan ensefalitis akibat virus West Nile dan menyertakan berbagai intervensi, beberapa steroid, antibodi monoklonal, dan mudah-mudahan itu akan menghasilkan jawaban," imbuh Paul Tambyah.

"Jika ada kemauan untuk melakukan sesuatu, pendanaan yang cukup dari pemerintah negara-negara yang terdampak, hal itu bisa terjadi."

Pada akhirnya, Kristy Murray dan Paul Tambyah berharap perhatian pada virus West Nile seperti yang diidap Fauci akan membantu meyakinkan para pembuat kebijakan untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk penyakit yang sangat terabaikan ini.

"Virus ini akan tetap ada dan kita akan mengalami wabah ini," ujar Kristy Murray.

"Jika seseorang seperti Fauci yang berada dalam posisi di mana orang-orang mendengarkan dan menghormatinya, bisa berbicara tentang gal ini, mungkin dapat membantu mendorong pendanaan tambahan untuk mempelajari virus tersebut..."

"Dan memungkinkan para ilmuwan untuk fokus pada vaksin dan terapi. Karena sudah 25 tahun sejak West Nile muncul di Amerika Serikat dan kita masih belum memiliki apa pun."

Versi bahasa Inggris dari artikel ini, The mosquito-bourne virus that's spreading without a cure, bisa Anda simak di laman BBC Future. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini