Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti turut menyoroti ihwal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) 10/2023 yang dinilai mencederai keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024.
Perempuan yang juga merupakan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Kuwait ini menyebut partai politik (parpol) berjuang setengah hati untuk keterwakilan perempuan 30 persen dalam pemilu.
Baca juga: Guru Besar UI: Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu Harusnya Sudah Tak Jadi Soal
"Satu hal yang perlu diketahui bahwa kebijakan afirmasi kuota (permepuan) 30 persen memang setengah hati. Partai politik itu setengah hati," kata Lena saat jadi narasumber dalam diskusi daring ‘Memaknai Keterwakilan Perempuan 30 persen Mendorong Putusan MA Berkeadilan Gender’, Jumat (9/6/2023).
Hal ini penting untuk disampaikan, tegasnya. Sebab aspirasi perempuan hingga saat ini tidak diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan negara.
"Ini bukan perjuangan main-main, ini ada landasan-landasan yuridis, historis, sosial, termasuk politis. Landasan sosiologisnya adalah hampir separuh pemilih kita ini, mungkin 50 banding 50 itu perempuan," tuturnya.
Baca juga: Guru Besar UI: KPU Tidak Berintegritas, Proses Penyelenggaraan Pemilu Alami Kemunduran
"Aspirasi perempuan tidak diakomodasi dalam kebijakan-kebijakan negara," Lena menambahkan.
Lebih lanjut Lena juga menjelaskan, perjuangan masyarakat dalam memperjuangkan hal yang berkaitan dengan kepemiluan bahkan telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu dengan ragam hambatanmya.
"Kalau sekarang kita ini mengalami hambatan-hambatan, ini sesuatu yang sebenarnya sudah kita duga, mulai dari perjalanan 2008, UU Nomor 10 Tahun 2008 dilanjutkan dengan 2012, kemudian 2014, dan sekarang puncaknya di 2019," jelasnya.
Polemik soal PKPU 10/2023 ini masih terus berlanjut. Terbaru, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan judicial review atau uji materi terhadap PKPU 10/2023 ke Mahkamah Agung (MA).
Fadli Ramadhanil, selaku kuasa hukum koalisi, menjelaskan pihaknya meminta MA untuk menyatakan Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Baca juga: Singgung Pemilu 2024 Diadakan Bersamaan, Megawati: Lucu Kalau Kerja Sama Politik Itu Pilih-pilih
Pihak koalisi juga juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan keatas.
Sehingga Pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 Ayat 2: Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas.
Permohonan yang diajukan ini diwakili oleh lima pemohon yang terdiri dari dua badan hukum privat dan tiga perseorangan yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.