Meski tak bisa mengubah putusan MK secara langsung, hasil penyelidikan DPR lewat hak angket dapat dijadikan landasan untuk mengajukan uji materi ketentuan usia capres-cawapres ke MK.
Selain itu, pemeriksaan Majelis Kehormatan MK (MKMK) juga bisa menjadi dasar uji materi, seandainya MKMK memutuskan ada dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Itu akan menjadi alasan baru untuk mengajukan permohonan. Atau publik bisa juga mengajukan permohonan pengujian kembali dengan alasan berbeda, lalu putusan MKMK dan hak angket DPR bisa jadi alat bukti di dalam persidangan,” jelas peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas tersebut.
3. Guru Besar Unsoed Muhammad Fauzan
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan menilai putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 bisa dibatalkan.
"Jika putusan MKMK ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik," ucap Fauzan kepada wartawan, Jumat (3/11/2023).
Bila merujuk pada hukum tata negara positif atau sesuai dengan ketentuan Pasal 24 C Undang- Undang Dasar 1945, menurut Fauzan, keputusan MK lazimnya mesti diterima publik dan langsung berlaku tanpa upaya hukum.
Namu, proses hukum di MKMK membuka jalan untuk pembatalan putusan nomor 90. Jika mengutapakan aspek moralitas, Fauzan berkata bisa saja MKMK mengesampingkan hukum tata negara yang selama ini berlaku di Indonesia.
Fauzan mengatakan MKMK bisa juga tidak membatalkan putusan nomor 90 meskipun hakim MK terbukti melanggar etika.
Namun dia berharap MKMK membuat terobosan dengan menetapkan putusan hakim yang terbukti melanggar kode etik bisa dibatalkan.
"Pembatalannya ada dua cara. Pertama, pembatalan oleh MK sendiri atas perintah MKMK. Kedua oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik," kata Fauzan.
4. Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti