Laporan wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) jadi paling banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), yakni sebanyak 129 kali.
Hal tersebut dikutip dari situs resmi MK, pada Rabu (22/11/2023).
Adapun di peringkat dua, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) telah digugat sebanyak 80 kali.
Di peringkat ketiga, ada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, yang telah diuji sebanyak 45 kali.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, MK merupakan ujung dari semua masalah pemilu, pilpres, pilkada.
Oleh karena itu, menurutnya, kepercayaan publik terhadap MK juga harus dipulihkan. Hal itu imbas dari kontroversi Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia capres-cawapres, di era kepemimpinan hakim konstitusi Anwar Usman.
"Ya makanya ujung dari semua masalah pemilu, pilpres, pilkada, sama aja itu, ujungnya kan nanti di MK. Makanya kita harus menjaga tingkat kepercayaan publik kepada MK. Ini harus dipulihkan," ucap Jimly, saat ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, pada Rabu (22/11/2023).
"Makanya itu yang harus kita jadi orientasi, bukan urusan pribadi-pribadi orang per orang yang sakit hati atau tersinggung. Enggak," sambungnya.
Baca juga: Karier Hamdan Zoelva, Mantan Ketua MK Jadi Ketua Dewan Pakar Timnas AMIN
Lebih lanjut, Jimly mengatakan secara ilmu ketatanegaraan, MK juga memiliki fungsi legislator seperti parlemen.
Ia menjelaskan, MK merupakan negative legislator, sedangkan parlemen atau DPR merupakan positif legislator.
"Itu MK kenapa disebut legislator oleh pendirinya, namanya Hans Kelsen. Parlemen itu legislator positif. MK itu negative legislator," jelasnya.
Hakim Konstitusi Harus Tahan Diri
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Titi mengatakan, hal ini menjadi tanda bahwa kini MK telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik berbagai pihak.