TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan syarat batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.
Brahma selaku Pemohon menguji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.
"Amar, mengadili, dalam provisi, menyatakan permohonan provisi tidak dapat diterima," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023).
Baca juga: Guru Besar IPB: Drama Korea Sebenarnya Terjadi di Mahkamah Konstitusi
"Dalam pokok permohonan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," sambung Suhartoyo.
Dalam kesimpulannya, MK berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melalui Putusan Nomor 2/2023 tidak sedikitpun memberikan penilaian bahwa ptusan MK 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat hukum.
Selain itu, soal dalil konflik kepentingan pada Putusan 90/PUU-XXI/2023 Mahkamah berpendapat hal itu tidak dibenarkan.
"Tetapi justru menegaskan bahwa putusan dimaksud (90/PUU-XXI/2023) berlaku secara hukum dan memiliki sifat final dan mengikat," ucap hakim.
Baca juga: MK Tolak Uji Ulang Batas Usia Capres-Cawapres, TKN: Makin Terang Anwar Usman Korban Kambing Hitam
Dalam permohonannya, Brahma menyoroti adanya persoalan konstitusionalitas pada frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
Menurutnya, ada pemaknaan yang berbeda-beda yang menimbulkan ketidak kepastian hukum, yakni pada tingkat jabatan apa yang dimaksud pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Selain itu, ia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK 90/PUU-XXI/2023.
Terkait hal itu, secara rinci, ia menyebut, ada 3 hakim yang memaknai 'pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'.
Sedangkan, ada 2 hakim memaknai 'berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan Gubernur'.
"Hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM Prof Dr Anwar Usman, YM Prof Dr Guntur Hamzah, dan YM Prof Manahan MP Sitompul)," tegas Brahma dalam permohonannya, dikutip Tribunnews.com, pada Kamis (2/11/2023).