Namun, 2 hakim lainnya, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak maju sebagai capres-cawapres.
Brahma menilai, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.
Sebab, jika dibaca secara utuh, hanya jabatan gubernur saja yang bulat disepakati 5 hakim tersebut untuk bisa maju sebagai capres-cawapres.
"Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya 3 hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi," kata Brahma.
Brahma menekankan, frasa baru dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim dari 5 suara hakim yang dibutuhkan.
Di sisi lain, melalui Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang terbit pada 16 Oktober 2023 itu, keponakan Anwar sekaligus putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36), berhasil maju di Pilpres 2024 dengan berbekal status Wali Kota Solo yang baru dijabatnya selama 3 tahun.
Gibran disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto, pada 22 Oktober. Keduanya telah ditetapkan sebagai capres-cawapres dan mendapat nomor urut 2 dari KPU RI, pada tanggal 13-14 November 2023.
Baca juga: Putusan MK tentang Batas Minimal Usia Cawapres Dinilai Puncak Praktik Politik Dinasti di Indonesia
Catatan Kuasa Hukum Pemohon
Kuasa hukum Pemohon Perkara 141/PUU-XXI/2023, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan beberapa catatan terkait gugatannya yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Viktor menilai, Putusan 141 tersebut nantinya akan menimbulkan persoalan.
Sebab, ia mengatakan, MK melalui Putusan 141 yang diajukan pihaknya itu mengakui Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman itu bisa diterapkan ke MK. Sedangkan, Pasal 17 ayat (6) dan (7) tidak bisa.
Adapun Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya mengatur, sebagai berikut:
"Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara," demikian bunyi Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009 pada pokoknya mengatur, "dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah"
"Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda" bunyi Pasal 17 ayat (7).