"Artinya kalau ada hakim yang punya konflik kepentingan harus mengundurkan diri, tapi itu kemudian dibiarkan artinya dimaklumi, atau bahkan dianggap biasa, karena putusan MK sifatnya final dan mengikat," ucap Viktor, saat ditemui usai sidang pembacaam putusan di gedug MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023).
Viktor mempertanyakan, bagaimana MK dapat meyakinkan independensinya nanti saat memutus perkara hasil pemilihan umum (PHPU) 2024.
"Apakah kemudian ini (konflik kepentingan hakim) akan dibiarkan juga terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti itu, sehingga menjadi khawatir karena nanti MK bisa menempatkan diri pada kecurangan yang bersifat TSM, terstruktur, sistematis dan masif yang sebelumnya berlaku hanya ke KPU, ini juga nanti bisa dikaitkan bisa juga untuk MK, karena ini sifatnya terstruktur," ungkap Viktor.
Tak hanya itu, Viktor menjelaskan, dalam Putusan 141 ini, MK telah mengakui bahwa Putusan 90/PUU-XXI/2023 keliru, karena untuk tingkat wali kota jenjangnya masih sangat jauh dari presiden.
Terkait hal itu, ia mengaku khawatir dan semakin meyakinkan bahwa dugaan Putusan 90 itu untuk memuluskan salah satu pihak untuk maju di Pilpres 2024.
"Itu diakui oleh MK (kekeliruan Putusan 90) tapi kemudian dilempar ke pembentuk undang-undang. Nah, ini saya khawatir pertimbangan hukum ini malah semakin meyakinkan masyarakat bahwa putusan 90 hanya untuk calon yang berkepentingan," tuturnya.
Lebih lanjut, Viktor mengatakan, pihaknya tetap menghargai putusan 141 itu. Meski demikian, ia juga menyayangkan adanya beberapa catatan yang dijelaskannya itu.
"Sehingga bagi kami ini belum menyelesaikan persoalan pemilu. Karena Sebenarnya putusan ini bisa menjadi penyelesaian yang bisa menguatkan legitimasi pemilu kedepan," ucapnya.
"Tapi dengan adanya pertimbangan hukum seperti ini, kami malah khawatir nanti ini makna menjadi bola liar lagi dalam hal perdebatan-perdebatan politik yang bisa mempengaruhi penyelesaian pemilihan umum." (*)