TRIBUNNEWS.COM - Bantuan sosial alias bansos menjadi program yang dibicarakan karena diusung dalam kampanye Pilpres 2024.
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan dengan Bansos Plus hingga Ketum PAN Zulkifli Hasan berkampanye denan narasi memilih Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto agar bansos dan BLT berlanjut.
Di balik itu, kritik datang dari peneliti senior BRIN Prof. Lili Romli.
Ia menilai kampanye seperti tidak etis.
Baca juga: Dukungan dari Ulama untuk AMIN Kian Menguat Usai Penandatanganan Pakta Integritas Ijtima Ulama
Alih-alih bagaimana agar rakyat makmur dan sejahtera sehingga tidak mengandalkan bansos, kampanye model ini justru ingin melestarikannya.
"Ini bisa dikatakan mereka ingin agar rakyat tetap miskin sehingga akar tergantung terus pada bansos. Ini bentuk politik populis yang salah kaprah," terangnya.
Menurutnya, kampanye politik harusnya berfokus pada upaya menyejahterakan rakyat dengan seperti penciptaan lapangan usaha bagi rakyat, lapangan pekerjaan, peningkatan pendidikan sehingga rakyat bisa keluar dari jerat kemiskinan.
"Bukan terus menerus melestarikan bansos," lanjutnya.
Menurutnya, kini, program bansos pun melenceng dari tujuan awal.
"Sekarang bansos sudah bersifat politis, sudah ditunggangi politik," sambungnya.
Bansos menjadi instrumen klintelisme untuk meraih suara, untuk pemenangan pemilu dan pilpres.
Padahal pendanaan bansos bersumber dari uang rakyat.
"Anggaran negara, yang berasal dari pajak bahkan dapat dari utang luar negeri, disalahgunanakan, dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk pemenangan pemilu. Ini sangat disayangkan," tegasnya.
Lili menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat bansos secara jernih di tengah masa pemilu.