"UU Pemilu tidak mencantumkan bahwa Presiden itu harus netral dan tidak bisa berpihak, jika soal anggapan presiden tidak etis jika berkampanye dan memihak. Etik itu harus dibedakan mana yang persoalan filsafat hukum mama yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan dibawah UU," ujarnya.
Kalau etik dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, menurut dia, maka hal itu merupakan persoalan filsafat hukum atau dalam tataran ilmu pemgetahuan.
"Kalau itu dianggap tidak etis, silahkan nanti dirumuskan dalam perubahan UU Pemilu ke depannya. Tapi dalam konteks pilpres dan pileg 2024 presiden boleh berkampanye, mendukung, dan memihak salah satu paslon. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah ditentukan dalam UU Pemilu," ujar Rizaldy.
Berikut UU Pemilu yang Mengatur Pejabat Kampanye
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu.
Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3). Dalam daftar itu, tidak ada presiden, menteri, maupun kepala daerah.
Pejabat-pejabat negara yang dilarang terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye itu meliputi:
- Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
- Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;Gubernur, deputi gubernur senior, dan
- Deputi gubernur Bank Indonesia;
- Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
- Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
- Aparatur sipil negara (ASN);
- Anggota TNI dan Polri
- Kepala desa;
- Perangkat desa;
- Anggota badan permusyawaratan desa.