Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam mengadili pelanggaran Terstruktur, Masif, dan Sistematis (TSM) menjadi perdebatan dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/3/2024).
Dua kubu yang berdebat yakni paslon nomor urut 3, Ganjar Pranowo - Mahfud MD, dengan kubu paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.
Dalam sidang tersebut, putri advokat Maqdir Ismail yang menjadi anggota Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Mahfud, Annisa Ismail, membacakan argumen dalam pokok permohonan terkait kewenangan MK dalam mengadili pelanggaran terstruktur sistematis dan masif (TSM) dalam pemilu.
Hal tersebut, kata dia, adalah satu dari lima bagian yang terkait dengan pelanggaran TSM yang didalilkan pihaknya terjadi dalam Pilpres 2024.
"Menurut hemat pemohonon, MK seyogyanya memeriksa permohonan a quo yang mempermasalahkan pelanggaran TSM berupa nepotisme yang kemudian melahirkan abuse of power yang terkoordinasi karena dua fakta hukum berikut," kata Annisa di ruang sidang.
"Pertama, adanya kekosongan hukum dalam Undang-undang Pemilu kita. Kedua, adanya instrumen penegakan hukum Pemilu yang tidak berjalan secara efektif," sambung dia.
Undang-undang Pemilu, kata dia, tidak mengatur mengenai nepotisme yang dilakukan oleh presiden sebagai bagian dari pelanggaran dari TSM karena undang-undang tersebut hanya mengenal dua jenis pelanggaran TSM.
Dua jenis pelanggaran tersebut yakni pertama adalah perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu.
Baca juga: Sederet Menteri Jokowi hingga BIN Ini Disebut Kubu AMIN Bantu Kampanye Prabowo-Gibran
Kedua, kata dia, adalah pelanggaran TSM dalam bentuk money politics sebagaimana dimaksud dalam pasal 286 UU Pemilu.
Ia mengatakan penyelenggara pemilu yang ada tidak efektif dalam menjalankan tugasnya sehingga membuat Pilpres 2024 menjadi pemilu yang sarat dengan nepotisme dan pelanggaran.
Ketidak efektifan penyelenggara pemilu, kata dia, dapat terlihat dari beberapa hal.
Pertama, lanjut dia, tidak independennya termohon (KPU) sebagaimana terbukti dari upaya termohon untuk memastikan diterimanya Gibran Rakabuming Raka dala Pilpres 2024 di antaranya engan langsung menerapkan putusan MK nomor 90 tahun 2023.
"Kemudian, dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka termohon pun jelas melanggar Peraturan KPU nomor 19 tahun 2023 yang kemudian belakangan terbukti sebagai bentuk pelanggaran etika," kata dia.
Baca juga: AHY Ungkit Prabowo yang Punya Julukan 08 di Kopassus Kini jadi Presiden ke-8 RI