TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan meminta Prabowo Subianto menyerahkan nama-nama calon menterinya untuk ditelusuri rekam jejaknya.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan, jika nantinya ada menteri di Kabinet Prabowo-Gibran ada yang berbuat korupsi, maka akan langsung diproses hukum.
"Saya kalau kamu tanya saya pribadi, enggak. Ngapain gitu-gituan, zalim loh orang distabilo-stabilo. Kalau terbukti [korupsi] ambil (tangkap, red)," kata Pahala di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (23/4).
Pahala meyakini empat pimpinan KPK saat ini juga berpikiran sama seperti dirinya.
Baca juga: KPK Tak Bakal Minta Prabowo Serahkan Nama Calon Menteri untuk Dilihat Rekam Jejaknya
"Saya yakin pimpinan yang baru enggak tertarik ya menstabilo. Karena kan mereka juga mau habis ya [masa jabatannya] delapan bulan lagi," katanya.
Menurut Pahala, "stabilo" terhadap seseorang merupakan bentuk tindak pidana. Karena ia menilai hal tersebut sudah mencap seseorang bersalah sebelum dilakukan proses hukum
"Ini pidana. Kalau dibilang ukurannya normatif boleh, tapi kan ini pidana salah atau enggak. Dengan stabilo artinya kamu bersalah, kalau bersalah kan sudah ada jalurnya, ambil orangnya. Jangan stabilo-stabilo," katanya.
Lagipula, Pahala mengatakan dia sudah memberikan rekomendasi kepada para capres yang berisi delapan poin. Salah satunya adalah meminta penguatan pelaksanaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) untuk pencegahan korupsi.
“Kalau dia instansinya, kementeriannya enggak mencapai 100 persen (kepatuhan, red) LHKPN-nya tegur menterinya. Kalau menterinya enggak (sampaikan, red) copot. Masukkan LHKPN tapi enggak pakai surat kuasa. Itu penyakitnya,” ujarnya.
Cerita soal stabilo merah calon menteri oleh KPK sebelumnya pernah terjadi 10 tahun lalu. Kala itu Jokowi sebagai presiden terpilih pada Pilpres 2014 pernah menyerahkan sejumlah nama calon menteri ke KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk dicek rekam jejaknya.
Awalnya Jokowi menyerahkan daftar 43 nama untuk mengisi 33 pos menteri ke KPK untuk dicek rekam jejaknya. Namun 8 orang di antaranya ternyata mendapat stabilo merah dan kuning dari KPK. Setelah itu, Jokowi kembali menyerahkan delapan nama baru, dan lagi-lagi KPK memberi stabilo merah untuk empat nama baru itu. Nama yang ditandai stabilo itu diperkirakan bakal menjadi tersangka kasus korupsi.
Ketua KPK saat itu, Abraham Samad menjelaskan ada calon menteri yang ditandai merah dan kuning.
"Itu tidak boleh jadi menteri," tegasnya.
Menurutnya, calon menteri yang namanya distabilo merah dan kuning itu tidak menutup kemungkinan akan menjadi tersangka di KPK. Sayangnya, KPK tak pernah mengungkapkan siapa saja calon menteri yang namanya distabilo itu.
Belakangan apa yang dilakukan KPK itu menuai kritik. Anggota DPR RI, Tubagus Hasanuddin, meminta KPK mengungkap saja nama-nama menteri jika ada yang mendapat catatan kuning dan merah. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan fitnah.
"Malaikat sekalipun akan kita jebloskan ke penjara kalau bersalah. Saya mohon dengan hormat kepada Pak Abraham Samad (Ketua KPK), yang mengalir darah tentara, ayahnya tentara, tunjukkan merahmu. Kalau ada benar stabilo merah, segera tangkap, bongkar saja agar tak menimbulkan fitnah," kata Hasanuddin.
Sementara Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, mendesak KPK membuka nama calon menteri yang diberi stabilo merah dan kuning. Menurutnya, membuka nama menjadi keharusan agar tidak terjadi fitnah. “KPK diminta untuk buka nama,” ujarnya.
Dikatakan Uchok, tak ada alasan KPK untuk tak membuka nama tersebut. Namun jika KPK kekeuh enggan membuka nama, masyarakat akan menilai lembaga antirasuah itu menutupi masalah yang melibatkan sejumlah nama tersebut. Padahal, KPK sebagai lembaga independen.
Uchok berpendapat, sebagai lembaga independen KPK tak mencampuri urusan pemilihan menteri kabinet pemerintahan. Pasalnya, penunjukan menteri menjadi hak prerogratif presiden. Semestinya, kata Uchok, Presiden Jokowi meminta pandangan masyarakat.
“Saya tidak setuju Jokowi menunjuk KPK dan PPATK, karena KPK sebagai lembaga hukum yang tidak boleh disusupi oleh politik. Tanpa KPK dan PPATK seharunya Jokowi kan bisa membuka pada masyarakat untuk menilai. Kan data KPK juga dari masyarakat,” ujarnya.(tribun network/ham/dod)