Menurutnya, Setya Novanto memiliki rekam jejak negatif di mata publik. Hal ini terbukti saat yang bersangkutan lengser karena terseret kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo terkait dugaan permintaan saham Freeport Indonesia.
"Jelas diputuskan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran etik berat," ujarnya.
Dia menyayangkan, rekam jejak negatif itu sepertinya tidak menjadi patokan Golkar dalam memilih ketua umum. Moralitas dan integritas menjadi ketua diabaikan.
"Seharusnya, kasus yang pernah menimpa Setya Novanto dijadikan ukuran moralitas dan integritas dalam pemilihan ketua umum, tetapi diabaikan oleh kader-kader Golkar yang punya hak suara," ujar Donal.
Novanto meraih suara terbanyak pada voting tertutup yang digelar dalam Munaslub Partai Golkar sejak Selasa (17/5/2016) dini hari.
Proses pemilihan berlangsung cukup alot setelah Novanto dan Ade Komarudin berhasil meraih 30 persen suara.
Pada putaran pertama, Novanto meraih 277 suara dan Ade Komarudin meraih 173 suara.
Pemilihan seharusnya masuk ke tahap kedua dengan memilih Novanto atau Ade. Namun, pemilihan tahap kedua ini tidak berlanjut setelah Ade menyatakan mundur dari pemilihan dan mengalihkan dukungannya untuk Novanto. Dengan keputusan itu, Novanto pun terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar hingga periode 2019.
Pengamat politik Para Syndicate, Toto Sugiarto senada dengan ICW. Ia menengarai, Partai Golkar akan menghadapi tantangan citra di mata masyarakat.
"Nama Setya Novanto yang sempat buruk menjadi tantangan," ujar Toto.
Toto mengatakan, jika Partai Golkar ingin kembali merasakan kejayaan, diperlukan kerja keras semua elemen partai.
Sebagai ketua umum yang baru, Toto menilai, Golkar harus mempunyai visi dan misi yang jelas dan dapat tersampaikan dengan baik ke semua kader partai.
"Setya Novanto harus terlebih dahulu melakukan konsolidasi di internal partai. Hanya dengan partai yang solid, langkah ke arah memenangkan berbagai kontestasi politik bisa dilakukan," kata Toto. (tribunnews/ryo/kps)