Di akun @Alfiantmf, sang pemilik menyebut dirinya pengamat PKI dan menamakan dirinya dengan #GanyangPKI.
Terlihat sosok Alfian Tanjung tengah berorasi berada di foto profil akun tersebut.
Mendadak diburu netizen
Nama Alfian Tanjung mendadak muncul di daftar pencarian Google Trend pada Kamis (7/9/2017).
Seperti diketahui, mantan Dosen Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka (UHAMKA) dijadikan tersangka dan langsung ditahan pada Selasa 30 Mei silam.
Penahanan Alfian Tanjung terkait ceramahnya di Masjid Mujahidin Surabaya pada 26 Februari 2017 lalu yang tersebar di laman Youtube mengandung tudingan Partai Komunis Indonesia (PKI) ke sejumlah tokoh.
"Di video ceramah yang kami terima, transkripnya menyebutkan bahwa 'Jokowi adalah PKI, Cina PKI, Ahok harus dipenggal kepalanya dan Kapolda Metro Jaya diindikasikan PKI'. Ini fatal untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Belum lagi jika anak-anak sampai menyaksikan video itu lalu mencontohnya" kata Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Ari Dono Sukmanto di kantor sementara Bareskrim Polri, Gedung KKP, Jalarta, pada hari penahanan Alfian.
Menurut Ari, seharusnya Alfian mempunyai bukti atau mampu membuktikan sebelum menyatakan klaimnya itu.
"Melabelkan seseorang dengan diksi atau kata, misalnya, 'kafir' saja memiliki aturannya secara agama. Tidak secara serampangan mengkafirkan. Terlebih lagi, beliau, kan, ustadz," ucap Ari.
Baca: Difitnah Rapat PKI di Istana, Nezar Patria Somasi Alfian Tanjung
"Nah, apalagi dengan melabelkan Presiden satu negara, negaranya sendiri, hingga Kapolda Metro Jaya dengan PKI. Alfian harus membuktikan tuduhannya itu di meja hijau," katanya.
Alfian Tanjung disangkakan melakukan pelanggaran penyebaran informasi seaat yang dikhawatirkan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, ras dan antargolongan (SARA).
Sebabnya, ia telah menyatakan dengan terang-terangan tuduhan tanpa dasar kuat secara hukum, terhadap Presiden hingga Kapolda Metro Jaya sebagai PKI.
Atas perbuatannya, Alfian Tanjung dijerat dengan Pasal 156 KUHP dan Pasal 16 juncto Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan RAS, Pasal 45 junto 28 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).