Hukum di Belanda juga mengakui status pasangan yang hidup bersama (pathner) meski tidak menikah, sehingga mereka mendapatkan hak-hak dan per-lindungan dari pemerintah seba-gaimana pasangan yang menikah resmi.
Berdasarkan penemuan-penemuan ini, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan merekomendasikan beberapa hal pada Kementerian Agama, diantaranya Kementerian Agama perlu melakukan sosialisasi pen-tingnya pencatatan perkawinan kepada calon TKI, sosialisasi dapat dimasukkan dalam program pembekalan PJTKI bagi calon TKI yang akan berangkat ke negara tujuan.
Dibutuhkan pula bantuan dari Kementerian Luar Negeri untuk melakukan pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis tentang pencatatan perkawinan, bagi para konsuler yang ditugaskan di luar negeri, baik aspek pengadministrasian maupun tentang fiqh munakahat.
Pada negara-negara yang me-miliki banyak WNI Muslim, perlu ditempatkan seorang Teknis Urusan Agama Islam dalam rangka pembinaan kehidupan keagamaan, pen-catatan perkawinan dan bim-bingan ketahanan keluarga.
Kementerian Agama diharap-kan mengirimkan buku nikah kepada KBRI/KJRI untuk pencatatan perkawinan sesuai kebutuhan, diharapkan untuk mengoptimalkan penggunaan Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) ber-basis online bagi pernikahan WNI di luar negeri.
Terakhir, Pmerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, diharapkan dapat melakukan pendekatan kepada Pemerintah Malaysia melalui Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) untuk peninjauan kembali ke-bijakan tentang larangan me-nikah bagi TKI di Malaysia. (*)