Tito mengatakan, pada tahun 2000-an mantan Gubernur Jabar, R Nuriana pernah meminta dokumen itu pada dirinya untuk jadi koleksi museum.
Tito pun sudah setuju meskipun dengan syarat harus ada kompensasi untuk menjalankan wasiat dari Inggit membangun fasilitas bagi masyarakat.
Permintaan dari Nuriana ketika itu juga sudah masuk dalam APBD.
"Tapi akhirnya ditolak dan batal karena katanya bukan dokumen negara, tapi dokumen pribadi. Padahal sudah dibahas. Jadi kalau sudah begitu, gimana? Saya sebagai pemilik dokumen itu, terserah saya dong mau digimanain," ucap Tito.
Menurut Tito, pembatalan menjadi bukti bila pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat tidak peduli.
Pembatalan itu pun membuatnya memiliki hak atas dokumen itu.
"Penolakan Pemda selaku perpanjangan tangan dari pemerintah pusat berarti pemerintah tidak peduli dan membutuhkan. Dengan adanya penolakan saya berhak mau diapakan benda itu walaupun tadinya saya nomor satukan pemerintah karena saya tahu ini adalah menyangkut tokoh bangsa," ucap dia.
Hingga akhirnya, foto-foto itu diunggah di media sosial Instagram oleh pemilik akun, Yulius Iskandar. Ia menyebut, dokumen pribadi itu dihargai Rp 25 miliar.
"Sebenarnya sudah banyak yang menghubungi kami untuk meminta dokumen itu," ucap Tito.
Galuh Mahesa (36), anak ketiga Tito menambahkan, dokumen-dokumen itu sempat pernah akan dijual ke Belanda.
Baca: Surat Nikah dan Surat Cerai Ir Soekarno-Inggit Garnasih Dijual, Kolektor: Buka Harga Rp 25 Miliar
"Sempat dihargai lebih dari itu (Rp 25 miliar). Dulu ada dari Belanda, cuma kami diminta ke sana terus kemudian dilelang. Ada yang sempat menawar hingga Rp 100 miliar. Tapi enggak dikasih karena kami dulu berharap dipegang pemerintah secara resmi dengan kompensasi, tapi kan enggak bisa," ucap dia.
Galuh menambahkan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, saat berkampanye di Pilgub Jabar juga sempat menyambangi rumahnya dan melihat benda-benda peninggalan Soekarno dan Inggit Garnasih.
Kata dia, saat itu Ridwan Kamil sempat mengatakan akan membeli dokumen itu untuk museum sejarah Jabar.
"Tapi sampai saat ini belum," ucap dia.
Galuh menerangkan, Tito sebagai pewaris dokumen tersebut, punya hak atas dokumen tersebut. Ia berharap dokumen itu dikuasai dan disimpan oleh siapapun yang berhak, tentunya dengan kompensasi.
Tito sendiri menjelaskan alasannya menjual dokumen itu karena adanya wasiat dari Inggit agar hasil penjualan dokumen itu dibuat fasilitas umum seperti klinik dan sekolah bagi masyarakat.
Dia pun menilai dokumen itu bukan dokumen milik negara karena negara dinilai tak pernah peduli dokumen itu.
"Memang cuma ada keinginan atau wasiat dari Bu Inggit buat klinik untuk lahiran dan sekolah dasar, dulu untuk pembuatan rumah sakit bersalin dan sekarang juga ada yayasan untuk mengurusi itu, jadi memang untuk kepentingan masyarakat juga karena memang wasiat dari Bu Inggit," kata dia.
"Ini bukan dokumen negara, memang betul menyangkut dokumen nasional tapi pemerintah sendiri tidak peduli, mau diapakan lagi. Saya enggak ada jalan lain," lanjut dia.(tribun jabar/meg)