Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliani Umrah mengatakan bahwa Koalisi Stop Child Abuse yang terdiri dari Alit Indonesia,Il ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo telah melakukan survei tentang perokok anak selama pandemi.
Dari survei tersebut, diketahui bahwa prevalensi perokok anak di masa pandemi mengalami kenaikan.
Yuliani mencermati, kalau kemudian hanya menemukan 500 anak yang menjadi perokok, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari 1000 atau bahkan 10.000 anak yang menjadi perokok.
"Tujuan kami tidak ingin bermusuhan dengan Kadin dan Gapero tetapi fakta temuan tersebut harus dipikirkan bersama agar dapat menentukan langkah bersama ke depan. Harapan kami, satu suara ke pemerintah pusat bagaimana mengatur kebijakan selanjutnya," ujar Yuli.
Yuli menyadari bahwa isu perokok anak sejauh ini selalu pro dan kontra.
Namun Alit ingin menemukan satu titik di mana harus dibuat langkah strategis bersama.
Karena 500 anak yang sudah berbicara tersebut telah mewakili ribuan anak yang bisa diselamatkan akibat rokok.
Masa pandemi banyak anak merokok di warung kopi
Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto menjelaskan, selain kenaikan prevalensi perokok anak, hasil survei yang dilakukan di lima Regional State, Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi dan DI Yogyakarta tersebut juga menunjukkan bahwa tempat yang paling banyak digunakan untuk merokok adalah warung kopi.
"Kebetulan saat pandemi, anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka sehingga banyak menggunakan wifi dan belajar online di warung kopi. Tetapi di sana mereka juga merokok," ujar Lisa.
Survei yang dilakukan juga melihat atau berkaca pada aturan tentang rokok.
Tahun 2019, kebijakan cukai menetapkan kenaikan harga rokok hingga 35 persen dengan kenaikan beragam.
Baca: Kini Tercatat Ada 3,2 Juta Perokok Anak, Bappenas Prediksi Jumlah Mereka di Tahun 2030
Baca: Jumlah Perokok Anak Tinggi, Pemda Diminta Berani Lakukan Hal Ini
Tetapi dari beberapa aturan yang ada, koalisi juga menemukan bahwa ada kebijakan Dirjen Bea dan Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau, yang menyatakan bahwa produsen dapat menjual (HJE) di bawah 85 persen dari banderol asal dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea dan Cukai.
"Kami berusaha melihat bagaimana kebijakan ini dilaksanakan, tindak lanjut seperti apa untuk bersama-sama dipikirkan bagi anak Indonesia," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Cukai dan Pemberdayaan Perempuan Kadin Jatim, Sulami Bahar yang juga Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya tertarik dengan hasil penelitian.
Karena baru kali ini survei prevalensi perokok anak yang tidak berseberangan dengan industri dan tidak memojokkan industri.
Sulami membenarkan selama ini prevalensi anak perokok Indonesia terus mengalami kenaikan.
Di tahun 2018, naik 9,1 persen dan Gapero bersepakat untuk menurunkannya tahun ini menjadi 8,4 persen.
"Dari industri kami tidak menghindari adanya kenaikan prevalensi perokok anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan rokok kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan imbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual rokok pada anak," tegasnya.
Ia menegaskan, asumsi perokok dini dipicu karena harga rokok murah dengan cara pemerintah mengeluarkan aturan Dirjen Bea Cukai nomor 37/2017 sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Terlebih menurut Sulami, kebijakan pemerintah dalam mengontrol konsumsi rokok sudah dilakukan, di antaranya pemungutan cukai, PPN dan Pajak Rokok yang mencapai 61 persen dari harga banderol rokok sendiri.
Harga jual rokok yang ditentukan oleh pemerintah dan selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Sejumlah kebijakan itu dinilai sudah berdampak menurunnya jumlah pabrik rokok di Indonesia.
Pada 2007, jumlah industri rokok mencapai 4.669, tahun 2017 jumlahnya turun menjadi 779 industri. Selain itu, produksi juga turun.
Harga Rokok
Hanya, Sulami juga memaparkan data bahwa kenaikan harga rokok tidak berpengaruh pada penurunan prevalensi perokok anak.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa jika harga rokok naik, 57 persen perokok usia dini memilih tidak beralih produk rokok, sedangkan 43 persen lainnya beralih ke produk lain.
"Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga rokok tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini," katanya.
Adapun faktor dominan yang menjadi penyebab perokok usia dini adalah keluarga merokok, pendidikan ayah, lingkungan sosial sekitar rumah dan teman sekolah.
"Adanya keluarga merokok yang tinggal serumah berpeluang tiga kali menyebabkan anak usia dini merokok. Pendidikan ayah yang rendah berpeluang 1,4 kali lebih besar bagi anak mengkonsumsi rokok," tambahnya.
Baca: Belum Sempat Kabur setelah Curi 6 Bungkus Mie Instan dan 10 Rokok, Pria Ini Berakhir Ditangkap Warga
Pada kesempatan tersebut, Kepala Bidang Perlindungan dan Tumbuh Kembang Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jatim, Herawanto Ananda menyatakan larangan menjual rokok pada anak sebenarnya sudah ada.
Tetapi sejauh ini penegakan hukumnya yang masih lemah sehingga sanksi bagi pelanggar tidak ada.
"Yang bisa dilakukan hanya dengan memberikan sanksi sosial," tegas Herawanto.
Kepala Prodi Ilmu Politik FISIP Unair dan Pengamat Kebijakan Politik, Kris Nugroho mengatakan data yang dipaparkan Alit sangat menarik karena ini merupakan penegasan yang kesekian bahwa anak perokok menjadi hal yang terbuka.
Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh penelitian lain.
Hanya saja, penelitian- penelitian tersebut terbentur pada follow-up.
"Inilah yang kemudian saya tegaskan bahwa temuan ini lebih baik diarahkan pada rekomendasi atas kekosongan regulasi atau undang-undang untuk melindungi anak. Ini menurut saya sangat strategis," pungkasnya (tribun network/thf/TribunJakarta.com/Surya.co.id)