“Kalau dibiarkan terus menerus, orang lupa yang benar sebenarnya apa ukurannya dan siapa. Apakah kita semua akan menjadi the sick society?” ucapnya.
Ia juga menyoroti nurani para petinggi KPK.
“Komisioner dan Dewan Pengawas KPK, berbunyikah sanubari Anda melihat kondisi ini? Kalau Bapak-Ibu masih tidur nyenyak, Anda membiarkan absurditas ini. Anda yang membiarkan degradasi moral lembaga terjadi, mendiamkannya, menganggap anomali atau absurditas suatu kenormalan, bisa jadi Anda-lah pendukung dan crime maker-nya," imbuhnya.
Baca juga: Rekrutmen 57 Eks Pegawai KPK Sarat Pelanggaran, Polri Pastikan Prosesnya Tak Menentang Aturan
Menurut Yosep Stanley Adi Prasetyo, pemerhati hukum dan mantan Anggota Dewan Etik KPAI, penegakan etika di KPK terbilang lemah.
“Kalau pimpinan KPK memegang teguh moral dan etika, maka inisiatif memutus rantai korupsi harusnya dimulai dari diri sendiri. Kalau dia melanggar, dia bilang saya tidak layak untuk memimpin, lalu mundur,” ucapnya.
Ia juga menyayangkan penanganan pelanggaran etika di KPK yang hanya dilakukan pihak internal, yakni Dewan Pengawas KPK.
Pasalnya, penyelesaian internal seperti itu tak bisa melampaui aturan internal.
Sedangkan kalau melibatkan unsur eksternal seperti Dewan Etik KPAI yang dibentuk ad hoc, penanganannya tak cuma bersandar pada aturan internal, tapi juga menyerap nilai etika publik dan mendengarkan pandangan dari luar.
Guru Besar Universitas Indonesia, Prof Mayling Oey-Gardiner, menyoroti peran Dewan Pengawas KPK pada sanksi ringan pelanggaran etika.
“Dewan Pengawas harus dipertanyakan, mengapa mereka hanya memberi sanksi seperti itu?” ujarnya.
Mayling mengingatkan, pada masa Orde Baru korupsi pun merajalela dengan adanya uang dari minyak dan sumber daya alam lainnya yang berlimpah.
Namun akibatnya, rakyat harus menderita.
Kini, derita itu kembali harus ditanggung rakyat Indonesia.
Adapun Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Bagus Takwin, berpendapat ada banyak dampak buruk jika suatu organisasi melanggar etika.