"Kalaupun ini tidak bisa langsung dipenuhi, paling tidak dapat dilakukan secara bertahap melalui mekanisme pelatihan alih teknologi. Ini soal pilihan kebijakan dari pemerintah dan perhanjian dengan pihak asing," ucapnya.
Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel ini.
Menurutnya jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) dari program ini jauh dari apa yang dijanjikan Pemerintah.
"Hilirisasi nikel ini kan program yang bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan Negara akan meningkat. Selain itu dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal," ucapnya.
"Namun, kalau prakteknya yang dihasilkan hanyalah produk nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah dan maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu ini akan mengecewakan kita. Ini tidak sesuai dengan harapan," tandasnya.
Untuk diketahui saat ini, sebanyak 80 persen dari produk yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah (NPI).
Hanya 20 persen hasilnya berupa stainless steel (SS). Bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada.
Karenanya nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak sebesar 19 kali sebagaimana yang dijanjikan pemerintah.