3. Surat 3
Kartini pernah merenungkan tentang posisi perempuan dengan laki-laki di Jawa ayng hanya dijadikan obyek kesenangan kaum laki-laki dan diperlakukan seperti boneka.
Saya ingin juga mempunyai anak, laki-laki dan perempuan. Akan saya didik, akan saya bentuk menjadi manusia menurut kehendak hati saya. Pertama-tama akan saya hapuskan adat kebiasaan yang buruk yang lebih menguntungkan anak laki-laki daripada anak perempuan, Kita tidak boleh heran akan sifat laki-laki yang memikirkan dirinya sendiri saja, kalau kita pikirkan bagaimana ia sebagai anak sudah dilebihkan dari pada anak perempuan... Bukankah acapkali saya mendengar ibu-ibu mengatakan kepada anak-anaknya yang Iaki-laki, bila mereka jatuh dan menangis: Cis, anak laki-laki menangis, seperti anak perempuan..Dan semasa kanak-kanak, laki- laki sudah diajar memandang rendah anak perempuan ...
Saya akan mengajar anak-anak saya baik laki-laki maupun perempuan untuk saling memandang sebagai makhluk yang sama (surat Kartini untuk Stella, 23 Agustus 1900)
Baca juga: Contoh Puisi Hari Kartini: Kartiniku Kini, Tanduk Perempuan, Literasi Ubah Negeri, Pesan Pujangga
4. Surat 4
Kalau memang benar pada diri kami ada sifat yang dapat membentuk anak laki-laki yang cakap dan tangkas, mengapa kami tidak boleh menggunakannya untuk meningkatkan diri menjadi wanita yang demikian pula? Dan tidak bergunakah perempuan cakap dalam masyarakat? Kami perempuan Jawa
terutama sekali wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat, yang dapat dibentuk sekehendak hati orang (surat Kartini untuk nyonya M.C.E Ovink- Soer, Agustus
1900)
5. Surat 5
... Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia.
Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata... Dan bagaimanakah ibu-ibu
Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan ? (Kartini dalam surat untuk Nyonya M.C.E. Ovink - Soer, 2 November 1900)
6. Surat 6
Yang dapat dilakukan untuk sementara adalah mendidik sedemikian rupa masyarakat Bumiputra lapisan atas, sehingga mereka menjadi rahmat bagi bawahannya. Rakyat memuja bangsawannya, apa yang asalnya dari bangsawan mudah mereka tiru. Dan itu telah diketahui juga oleh Pemerintah. Tetapi apa yang diperoleh rakyat dari bangsawannya yang dijunjung tinggi, yang dipakai oleh Pemerintah untuk memerintahnya? (Kartini dalam Sulastin, 1986:390)
7. Surat 7
Berilah pendidikan kepada perempuan Jawa, gadis-gadis kami! Didiklah budinya dan cerdaskan pikirannya. Jadikanlah mereka perempuan yang cakap dan berakal, jadikanlah mereka pendidik yang baik untuk keturunan yang akan datang! Dan bila pulau Jawa mempunyai ibuibu yang cakap dan pandai, maka peradaban satu bangsa hanyalah soal waktu saja! (Sulastin, 1986:390)
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Artikel lain terkait Hari Kartini