Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengungkap alasan hasil kajian PKS yang menilai bahwa ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold pada Pilpres 2024 idealnya 7 sampai 9 persen.
“Kita mencari titik keseimbangan,” kata Ahmad Syaikhu kepada wartawan di Gedung Mahkah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (6/7/2022).
Ia menjelaskan selama ini PKS melakukan berbagai kajian bersama tim.
Jika mengajukan di bawah 7 sampai 9 persen maka rentan mengalami penolakan.
“Karena itu kita melakukan kajian dan nanti tim hukum kami yang akan merinci itu dan ketemulah tadi pada angka kisaran interval 7 sampai 9 persen,” katanya.
Baca juga: Resmi Ajukan Gugatan Presidential Threshold 20 Persen ke MK, Ini Alasan PKS
Ahmad Syaikhu mengatakan sampai saat ini tidak ada kajian ilmiah terkait besaran angka Presidential Threshold 20 persen.
Itu berdasarkan kajian yang dilakukan tim kuasa hukum PKS.
Syaikhu mengatakan, angka rasional dari Presidential Threshold itu berada di bawah 10 persen dari total jumlah kursi di DPR.
“Angka yang rasional dan proporsional (Presidential Threshold) berdasarkan kajian tim hukum kami adalah pada interval 7 persen sampai 9 persen kursi DPR,” kata Ahmad Syaikhu kepada wartawan di Gedung Mahkah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (6/7/2022).
Ia menambahkan dasar dari perhitungan angka yang dinilai rasional itu akan selanjutnya dijelaskan tim kuasa hukum PKS.
Selain itu, sambung dia, segala sesuatu yang berkaitan dengan materi pokok gugatan dan argumentasi hukum lainnya akan disampaikan pula oleh tim kuasa hukum PKS dalam persidangan.
“Oleh karena itu kami mohon kepada MK (Mahkamah Konstitusi) untuk memutuskan inskonstitusional bersyarat terhadap ketentuan Pasal 222 UU Pemilu,” ucap Syaikhu.
Seperti diketahui, Partai Keadilan Sejahtera PKS resmi mengajukan uji materi terkait Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang President Threshold (ambang batas pencalonan Presiden) 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara nasional ke Mahkamah Konstitusi (MK)