News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pakar Sebut Penolakan Regulasi Galon BPA Kaburkan Problem Sampah Plastik yang Sebenarnya

Penulis: Matheus Elmerio Manalu
Editor: Bardjan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi galon guna ulang berbahan polikarbonat.

Yusra berpendapat, penolakan dari para penentang regulasi BPOM tidak fokus pada penanggulangan timbulan sampah plastik nasional secara keseluruhan, melainkan hanya mengerucut pada galon guna ulang.

"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?” ungkap Yusra.

Sampah plastik jenis lainnya–yang jumlahnya lebih banyak dan berkontribusi besar pada problem sampah plastik nasional–justru diabaikan.

Padahal, data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 64 juta ton sampah yang dihasilkan per tahun, sebanyak 3,2 juta ton, adalah sampah plastik. Sampah plastik AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen.

Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah sampah AMDK gelas plastik.

Dengan kata lain, data tersebut menyimpulkan air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan, terlihat berceceran di mana-mana dan mengotori lingkungan.

Sebagai contoh, hasil brand audit yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat Sungai Watch di Bali pada 2021 menunjukan 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali. Salah satu produsen AMDK terbesar di Indonesia juga menyumbang sampah plastik terbanyak dengan total sampah plastik 27.486 item atau 12 persen dari total sampah plastik yang dianalisis.

Gelas plastik dan botol plastik menjadi dua sampah yang paling banyak diaudit dari salah satu penguasa pasar AMDK tersebut.

Untuk mengurangi sampah plastik di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebenarnya sudah memiliki strategi berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah, yang meminta semua produsen untuk menyusun roadmap pengurangan sampah dengan target pengurangan 30 persen timbulan sampah hingga Desember 2029 nanti.

Permen ini juga mendorong industri untuk menghentikan produksi air minum kemasan ukuran di bawah 1 liter dan kemasan saset di bawah 50 mililiter. Pasalnya, masih dari data BPS, sebanyak 46 ribu ton timbulan sampah produk AMDK bermerek adalah produk kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter.

“Kemasan yang kecil-kecil, khususnya yang dirancang sekali pakai dan tidak bisa diguna ulang, potensi jadi sampah atau polutannya sangat tinggi dibanding kemasan berukuran besar. Apalagi jenis plastiknya tidak bisa didaur ulang, maka sudah pasti jadi sampah karena tidak laku,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK, Ujang Solihin Sidik, dilansir dari rilis yang diterima Tribunnews, Selasa (19/7/2022).

Oleh karena itu, Ujang mengatakan pemerintah berusaha mendorong produsen untuk memproduksi botol plastik yang lebih besar atau size up.

“Makanya kita dorong ukurannya diperbesar dalam konteks pengumpulan kembali (produk guna ulang). Dalam konteks industri daur ulang, ukuran itu menjadi penting,” jelasnya.

Ujang juga mengatakan, sampah AMDK gelas plastik, termasuk penutup, sedotan dan pembungkus sedotan, terbukti menimbulkan persoalan besar bagi lingkungan karena tidak ada nilainya untuk didaur ulang.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini