TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Taruna Merah Putih (TMP) menggelar Diskusi Publik bertajuk 'Bahaya dan Antisipasi Menghadapi Politik Identitas Jelang Pemilu 2024' di Sekretariat TMP, Jalan Muhammad Yamin No. 1 Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (23/12/2022).
Acara tersebut digelar sekaligus syukuran ulang tahun ke-53 Ketum TMP Maruarar Sirait.
Tampil sebagai pemateri tunggal Saiful Mujani, memaparkan identitas politik yang masih lemah, tersubordinasi ke dalam identitas sosial.
Itu sebabnya, kita belum berhasil bertransformasi dari identitas sosial ke identitas politik.
“Sangat relevan dan semacam keharusan menghadapi politik identitas yang berkembang. Pasalnya, kita belum mampu mengubah identitas sosial ke identitas politik. Saya sebagai orang Banten itu identitas sosial, kalau saya Golkar atau PDIP itu identitas politik,” ujarnya.
Ia mencontohkan Donald Trump dulu banyak menggunakan identitas sosial untuk memenangkan jabatan presiden, dan faktanya hanya menjabat 4 tahun. Sementara di sana identitas politik sudah mapan.
Makanya, Joe Biden seorang Katolik bisa menjadi Presiden AS karena identitas politik di AS lebih kuat.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris dengan PM Rishi Sunak.
"Politik identitas tidak terjadi pada agama tertentu saja, tetapi sama di semua agama. Baik identitas Islam maupun non Islam. Itu menunjukkan kondisi kita belum mampu mengubah identitas sosial kepada identitas politik. Yang bisa mengubah ya seperti Taruna Merah Putih ini,” ucap Saiful Mujani.
Contohnya, harus tahu kapan dan di mana berperilaku dengan identitas agama dan anak bangsa dalam berpolitik.
Memang perlu proses menuju ke sana. Politik yang benar itu yang pluralis seperti dipraktekkan PDIP atau Golkar.
Mananggapi hal itu, para Ketum Cipayung Plus yang hadir dalam diskusi diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan terkait bahaya dan antisipasi politik identitas jelang Pemilu 2024.
Baca juga: Djarot Curhat Alami Politik Identitas di Pilgub DKI 2017, Ajak Masyarakat Tebar Toleransi
Ketum Umum HMI Raihan Ariatama menyampaikan bahwa dalam konteks pemilihan tidak hanya bicara politik identitas, tetapi harus dikaitkan dengan pelayanan publik.
“Pengalaman saya yang berasal Sumbar dan kuliah di Yogyakarta, tidak bisa beli motor karena KTP. Kita Indonesia seharusnya semua agama dan etnis diperlakukan sama,” ucapnya.