TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi di Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mencatat adanya 11.266 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2022.
Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 11.538 perempuan telah menjadi korban.
Hampir setengahnya, yaitu 47,52 persen merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sementara 48,6% merupakan korban kekerasan fisik.
Kemudian 1 dari 4 perempuan tercatat mengalami kekerasan sepanjang tahun 2021.
"Kekerasan fisik dan/ atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan selama hidupnya masih dialami oleh sekitar 1 dari 4 perempuan usia 15 sampai 64 tahun," ujar Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang dalam Seminar Nasional Proteksi Diri dari Predator Seksual oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada Kamis (26/1/2023).
Bahkan prevalensi kekerasan seksual oleh selain pasangan meningkat dari 4,7% pada 2016 menjadi 5,2% pada 2021.
Data-data demikian menurut Bintang hanyalah catatan dari kasus-kasus yang dilaporkan.
Menurutnya, ada lebih banyak perempuan yang mengalami kekerasan dan tak terlaporkan.
Dia pun menyebut kondisi ini sebagai fenomena gunung es.
"Angka ini merupakan fenomena gunung es, di mana korban dan kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi daripada yang terlaporkan," katanya.
Kondisi demikian disebut Bintang dapat memberikan beragam dampak bagi korban.
"Mengakibatkan penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, demikian juga seksual," ujarnya.
Dia pun berharap angka perempuan yang menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual semakin menurun. Terlebih setelah hadirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sebab dalam undang-undang tersebut telah terakomodir perlindungan dan pemulihan bagi korban. Bahkan sampai mengakomodir rehabilitasi bagi para pelaku.
Baca juga: Soroti Kasus KDRT, Gus Miftah Menentang Keras: Suami Kadang Berlebihan, Pukul Istri Kok Ngaku Imam?
"Pembaruan hukum ini memiliki tujuan mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, kemudian melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual," kata Bintang.