TRIBUNNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi telah mengesahkan Perppu 2/2002 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).
Pengesahan itu, diambil dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (21/3/2023).
Namun, Keputusan tersebut menuai banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat, di antaranya adalah buruh dan mahasiswa.
Sementara itu, Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Abid Al Akbar, mengatakan pembentukan UU Cipta Kerja tersebut minim partisipasi publik.
Hal itu disampaikan Abid dalam acara mahasiswa berdialektika (Mahardika) yang ditayangkan oleh YouTube Tribunnews pada Rabu (5/4/2023).
Terkait minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang, Abid memberikan kritikan bahwa itu sudah menjadi kultur DPR.
Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, ILMISPI Ingatkan Kondisi Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja
"Sedikit menyinggung partisipasi bermakna yang minim, itu saya kira sudah menjadi kultur di DPR gitu," ucapnya.
"RKUHP, kemudian Cipta Kerja, bahkan nanti mau ada Omnibus Law, hal-hal itu semua sudah menjadi kultur," jelas Abid.
Dia juga mengungkapkan, pemerintah biasanya hanya melakukan sosialisasi tanpa partisipasi dalam merancang sebuah peraturan.
"Pengalaman dari RKUHP kemarin, pemerintah hanya melakukan gimmick sosialisasi ke kampus-kampus, sosialisasi ke masyarakat sipil tanpa ada partisipasi yang bermakna," terangnya.
Makna dari partisipasi bermakna ini adalah hak untuk didengar, hak untuk dimintai kejelasan, dan hak untuk dilibatkan.
Hal itulah yang tidak ada dalam pembentukan UU Cipta kerja, sehingga mendapat gelombang protes dari banyak elemen masyarakat.
Abid juga mengatakan, bahwa takaran kesuksesan DPR itu ketika bisa mengakomodir kehendak dari rakyat.
"Takaran suksesnya DPR itu ketika apa yang disampaikan oleh DPR itu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat," ujarnya.