Dalam perkara ini, tim penyidik Kejaksaan Agung menemukan adanya pemalsuan dokumen dalam pengajuan dana untuk proyek-proyek Waskita Karya.
Pemalsuan itu diduga dilakukan oleh Direktur Utama Waskita Karya, Destiawan Soewardjono serta beberapa jajaran direksinya.
Selain itu, turut pula pihak swasa dalam pemalsuan dokumen tersebut.
Pemalsuan dokumen itu bisa dilakukan karena adanya kelonggaran-kelonggaran untuk mengajukan pembiayaan melalui mekanisme supply chain financing (SCF).
"Ya misalnya berdasarkan ada kontrak kerja, macam-macamlah. Enggak perlu terlalu rigidlah," kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung, Kuntadi.
Kemudian dokumen-dokumen tersebut juga dikeluarkan oleh otoritas berwenang yang membenarkan ada proyek, padahal fiktif.
Oleh sebab itu, pihak bank yang memberikan pembiayaan mempercayai adanya proyek yang membutuhkan dana.
"Masalahnya, dokumen ini kan dikeluarkan oleh otoritas yang mengaku bahwa benar ada proyek, ya selesailah," katanya.
Dalam pendanaan SCF ini, Waskita Karya memperoleh Rp 1,3 triliun yang dicairkan dari beberapa bank.
Dari total Rp 1,3 triliun itu, tim penyidik pun turut mendalami alirannya. Termasuk apakah ada penggunaan untuk kepentingan pribadi atau tidak.
Jumlah itu pun disebut Kuntadi menyumbang kerugian negara cukup banyak.
"Kan 1,3 Triliun (rupiah) itu banyak. Coba bayangkan, 1.000 miliar kita nutup," ujarnya.
Hingga kini tim penyidik sudah menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi Waskita Karya ini. Mereka ialah: Direktur Utama Waskita Karya, Destiawan Soewardjono; Direktur Operasional II PT Waskita Karya, Bambang Rianto; Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko periode Juli 2020 sampai Juli 2022 Waskita Karya, Taufik Hendra Kusuma; Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko periode Mei 2018 sampai Juni 2020 Waskita Karya, Haris Gunawan; dan Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya, Nizam Mustafa.
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.