Padahal, masa kampanye Pemilu 2024 diprediksi marak politik uang. Pasalnya, masa kampanye hanya 75 hari.
Dengan waktu yang singkat, dikhawatirkan para peserta pemilu tak punya cukup waktu untuk memperkenalkan diri dan program kepada masyarakat, sehingga memilih jalan pintas untuk mendulang suara dengan membeli suara.
"Masa 75 hari itu kan sudah di ujung (dekat ke hari pencoblosan). Peserta akan berlomba meyakinkan pemilih. Meyakinkan pemilih kan bisa dengan uang. Ini agak berbahaya," kata Bagja.
Sebelumnya, pada Pemilu 2019, Bawaslu mengutamakan pengawasan politik uang pada masa tenang yang dijadwalkan selama tiga hari setelah berakhirnya masa kampanye menuju hari pemungutan suara.
Ketika itu, politik uang rawan terjadi di masa renang. Sebab, masa kampanye pada 2019 berlangsung 6 bulan 3 pekan.
Namun, mengingat kerawanan yang dijelaskan Bagja, Bawaslu sedang mempertimbangkan untuk menarik fokus pengawasan politik uang tak hanya di masa tenang, tetapi juga pada masa kampanye Pemilu 2024.
Baca juga: Polda Sumbar Panggil Polisi Suami Guru Honorer yang Hina Anak Atta Halilintar
Karena itu, kata Bagja, Bawaslu akan intens mengawasi praktik politik uang sejak masa kampanye dimulai.
Namun, Bawaslu terkendala jumlah tenaga untuk melakukan itu. Bagja mengaku tak mungkin memperpanjang masa kerja mereka, sebab penentuan akhir masa tugas para petugas honorer itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajemen PPPK.
"Kami ingin teman-teman (honorer) ini diselamatkan karena mereka sudah berjuang sejak tahun 2018 atau 2019," ujar Bagja.