News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ahli Hukum Gugat Syarat Batas Usia Jadi Hakim MK, Ini Alasannya

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid, menggugat syarat batas minimal usia hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu terkait Materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Fahri Bachmid memberikan kuasa kepada advokat Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., Agustiar, S.H., serta Nur Rizqi Khafifah, S.H.dari Kantor VST and Partners, Advocates & Legal Consultans.

Dalam permohonannya, Fahri meminta syarat batas minimal untuk menjadi hakim konstitusi yang saat ini 55 tahun, diubah menjadi 40 tahun.

"Perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi yang dilakukan pembentuk undang-undang, dalam dua kali perubahan undang-Undang, terhadap syarat minimal usia menjadi hakim konstitusi selalu dilakukan perubahan tanpa alasan dan penjelasan yang jelas dan mendasar secara akademik dan reasonable," kata Dr Fahri Bachmid, dalam keterangannya, Jumat (25/8/2023).

Fahri kemudian menyoroti beberapa aturan syarat minimal usia untuk menjadi hakim Konstitusi, yakni UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 16 ayat (1) huruf c, yang mengatur usia sekurang-kurangnya 40 tahun; UU No. 8 Tahun 2011 Pasal 15 ayat (1) huruf d, mengatur usia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan; UU No. 7 Tahun 2020 Pasal 15 ayat (2) huruf d, mengatur usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.

"Kondisi saat ini UU 7/2020 pun sedang dalam proses perubahan dimana terhadap syarat minimal usia untuk dapat mencalonkan sebagai hakim Konstitusi menjadi salah satu pasal yang masuk dalam rencana perubahan dari usia 55 berpotensi akan diubah dan dinaikan menjadi 60 tahun," jelasnya.

Menurut Fahri, perubahan demi perubahan yang terus terjadi menciptakan ketidakpastian hukum yang adil. 

Sehingga, lanjutnya, hal itu berimbas pada semakin jauh dan semakin lama untuk bisa menjadi hakim konstitusi serta tidak ada kepastian hukum karena cenderung sering terjadi perubahan-perubahan.

"Dan dalam batas penalaran yang wajar, suatu ketika ketika saya menjadi hakim konstitusi, tentunya akan mengalami keadaan yang sama, yakni mendapatkan ketidakpastian hukum atas perubahan-perubahan usia minimal menjadi hakim konstitusi ataupun usia maksimal menjadi hakim konstitusi," ungkap Fahri.

Ia mengutip pendapat Saldi Isra dalam Putusan 112/PUU-XX/2022 pada bagian concurring opinion, yang berbunyi:

"Bahwa ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang yang seringkali mengubah persyaratan usia minimum ataupun maksimum bagi pejabat publik yang telah diatur di dalam undang-undang tanpa memiliki landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas. Hal ini mengakibatkan potensial terjadinya ketidakpastian hukum bagi pejabat publik yang terkait, baik yang berkenaan dengan masa jabatannya ataupun yang berkenaan dengan kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali pada periode berikutnya, Ketidakpastian hukum ini kemudian dapat juga berimbas pada terganggunya kinerja pejabat negara yang bersangkutan, bahkan juga terhadap kinerja lembaga negara ataupun institusi yang dipimpinnya."

Baca juga: Batas Usia Capres-Cawapres Digugat di MK, PKS: Ada Endorse dan Penggembosan

Dijelaskan Fahri, pengaturan syarat usia minimal atau maksimal harus ada dalam UU 7/2020 dan ditetapkan menjadi syarat yang tetap serta tidak berubah-ubah.

Untuk mengubah sekalipun, kata Fahri, perlu adanya landasan filosofis ataupun sosiologis yang kuat dan jelas.

"Karena apabila tidak dinyatakan demikian, maka dapat saja kewenangan pembentuk undang-undang dapat menjadi upaya politik dalam proses bargaining terhadap kepentingan pembentuk undang-undang atas lembaga tersebut. Apalagi lembaga tersebut adalah badan peradilan ataupun Lembaga penegak hukum yang harus dijamin independensi serta kemerdekaannya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusionalnya," kata Fahri Bachmid.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini