TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik hakim masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), dalam beberapa waktu terakhir.
Diketahui, beberapa laporan tersebut diajukan sejumlah organisasi merespons putusan Perkara 90/PUU-XXI/2023, yang mengabulkan penambahan frasa 'berpengalaman sebagai kepala daerah' dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mantan Hakim Konstitusi, I Gede Palguna mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), saat ini Dewan Etik MK sudah tidak ada lagi.
Meski demikian, ia menjelaskan, UU MK terbaru itu memerintahkan untuk dibentuknya institusi pengawas etik hakim konstitusi, bernama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang bersifat permanen.
"Dengan dilakukannya perubahan ketiga terhadap UU tentang Mahkamah Konstitusi (kini UU No 7 Tahun 2020) Dewan Etik sudah tidak ada lagi," kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Jumat (20/10/2023).
"Hal itu selain dikarenakan Dewan Etik memang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) juga (dan terutama) karena UU MK yang baru ini memerintahkan Pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagaimana tertera dalam Pasal 27A, yang anggota 3 orang: satu dari hakim konstitusi, satu dari Komisi Yudisial, dan satu dari akademisi yang berlatarbelakang hukum," jelasnya.
Namun, Palguna menambahkan, hingga saat ini MK belum kunjung membentuk MKMK sebagai institusi pengawas etik para hakim konstitusi itu.
"MKMK (permanen) ini sayangnya belum dibentuk hingga saat ini," ungkap Palguna.
Sehingga, dalam menangani laporan dugaan etik hakim konstitusi, MK berkemungkinan membentuk MKMK Ad Hoc, yang bersifat sementara.
"Jika MKMK Ad Hoc belum juga dibentuk ya berarti tidak satu pranata (institusi) pun yang berwenang menangani adanya laporan dugaan pelanggaran etik," tutur mantan Ketua MKMK Ad Hoc itu.
Dengan demikian, mantan Hakim Konstitusi itu membenarkan, selama MK tidak membentuk MKMK Ad Hoc, maka laporan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim konstitusi berpotensi menjadi angin lalu.
"Kemungkinan yang mana maksudnya? Dianggap angin lalu? Ya. Betul. Selama MKMK belum dibentuk (entah yang ad hoc atau yang permanen)." ungkapnya.
Baca juga: Soal Putusan MK Kabulkan Batas Usia Capres-cawapres Dinilai Ubah Dinamika Politik di Indonesia
Sebagai informasi, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) melaporkan lima hakim konstitusi ke Dewan Etik Hakim Konstitusi buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat Capres-Cawapres, Kamis (19/10/2023).
Lima hakim yang dilaporkan di antaranya Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.
Mereka dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi.
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani mengatakan terdapat berbagai bentuk kejanggalan dalam pemeriksaan hingga putusan permohonan nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia Capres-Cawapres, yang berujung pada pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi hingga cacat formil.
Menurutnya, hal itu berdampak pada legitimasi secara hukum terhadap putusan, termasuk berpotensi pada perselisihan hasil Pemilu 2024 nanti.
Baca juga: 5 Hakim MK Termasuk Anwar Usman Dilaporkan ke Dewan Etik Buntut Putusan Gugatan Usia Capres-Cawapres
Tak hanya dari PBHI, para advokat yang tergabung dalam Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melaporkan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman dan delapan hakim konstitusi lainnya ke MK, pada Rabu (18/10/2023).
Para hakim MK tersebut dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hukum konstitusi setelah memproses sejumlah gugatan uji materi mengenai syarat batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).