"Dalam kalkulasi rasional, memang kecil kemungkinan perang terjadi. Namun, selalu ada peluang terjadinya perang akibat kecerobohan atau pemicu yang menyebabkan situasi di luar kendali. Dalam konteks inilah saya kira menjadi penting untuk konsisten membangun kapabilitas militer," katanya.
Edwin meyakini, penyediaan alutsista untuk menyiapkan kapabilitas yang memberi efek deterrence harus menjadi prioritas Indonesia. Peran intermediary Indonesia dalam konteks keamanan regional di Asia Tenggara sangat ditentukan oleh keberadaan kapabilitas pertahanan.
Hal demikian juga diperlukan untuk memelihara keberlanjutan independensi Indonesia. "Oleh karena itu, penyediaan alutsista harus dilanjutkan, namun perlu didiversifikasi asalnya supaya tidak bergantung pada satu atau dua negara. Akan lebih membantu apabila Indonesia menguasai teknologi untuk membangunnya secara mandiri."
"Pengembangan kapabilitas militer harus diprioritaskan untuk memperkuat kemampuan retaliasi dan ditempatkan dalam titik-titik strategis terutama yang berhadapan langsung dengan China. Fokus pada penguatan matra laut. Hanya dengan cara ini kapabilitas militer kita memiliki efek penggentar dan menjadikan Indonesia disegani," pungkasnya.
Saatnya Indonesia melepas sikap nonblok?
Analis Hubungan Internasional Rangga Deristaufani mengatakan, eskalasi konflik di Laut China Selatan bukanlah sesuatu yang mudah diprediksi. Ketegangan acap kali terjadi tiba-tiba, bergantung manuver politik dan militer, baik dari sisi Amerika Serikat atau China.
Ia melihat, latihan militer skala besar bersandi "Joint Sword-2024A" yang dilakukan China pekan lalu adalah bagian dari respons mereka atas kehadiran pasukan elite AS di Taiwan, Maret silam.
"Saya melihat dan tentu berharap eskalasi AS dan China tidak berujung pada konfrontasi terbuka antarkedua negara. Namun, berkaca pada serangan Rusia ke Ukraina, Februari 2022, segala kemungkinan masih bisa terjadi," ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (29/5/2024).
Dalam hal ini, Indonesia, kata Rangga, harus mampu menempatkan posisi secara tepat dalam percaturan konflik dua negara adidaya tersebut. Alih-alih meninggalkan kebijakan nonblok, dalam konteks konflik LCS, prinsip politik Bebas-Aktif RI justru semakin relevan.
"Keberpihakan Indonesia ke salah satu kubu, entah China atau AS, justru sangat merugikan kita. Apalagi Indonesia kini tengah berfokus pada agenda ekonomi-pembangunan, di samping pengembangan postur kekuatan militer yang masih bergantung pada alutsista impor," kata Alumni Kajian Ketahanan Nasional, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI ini.
Dia berharap, pemerintah Indonesia ke depan, dapat ‘bermain cantik’, dengan tetap menjaga hubungan kemitraan strategis baik dengan AS, maupun China. Di satu sisi dapat terus memanfaatkan kemitraan ekonomi strategis dengan Beijing, di sisi lain mengembangkan kerja sama militer dengan Washington.
Namun Rangga mengakui, "politik dua kaki" semacam itu tidaklah cukup. Indonesia, sebagai negara berdaulat tetap perlu meningkatkan kekuatan militernya guna menghadapi ancaman keamanan di kawasan.
"Tentu kita tidak berharap status quo ini berakhir dan meningkat pada eskalasi yang lebih buruk, seperti perang terbuka. Oleh karena itu, Indonesia tetap perlu memperkuat kekuatan militer. Pertahanan yang kuat akan mendukung setiap upaya diplomasi kita. Terakhir, saya masih berkeyakinan, baik Amerika, China, dan negara-negara ASEAN berharap Indonesia memainkan peran yang signifikan sebagai negara non claimant, peaceful means through dialogue and negotiation."