Kemudian ditemukan fakta bahwa mahasiswa korban TPPO modus Ferienjob ini memperoleh sosialisasi terkait program tersebut dari PT Cvgen dan PT SHB.
"Pada saat pendaftaran korban dibebankan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp150 ribu ke rekening atas nama Cvgen dan juga membayar sebesar 150 euro untuk pembuatan LOA (letter of acceptance) kepada PT SHB karena korban sudah diterima di agency runtime yang berada di Jerman dan waktu pembuatannya selama kurang lebih dua minggu," tuturnya.
Setelah LOA terbit, mahasiswa tersebut tersebut diwajibkan membayar uang senilai 200 euro ke PT SHB untuk pembuatan approval otoritas Jerman (working permit) sebagai persyaratan pembuatan visa.
Kemudian, korban juga dibebankan menggunakan dana talangan sebesar Rp30 juta sampai Rp50 juta yang nantinya akan dipotong dari penerimaan gaji setiap bulannya.
"Selanjutnya para mahasiswa setelah tiba di Jerman langsung disodorkan surat kontrak kerja oleh PT SHB dan working permit untuk didaftarkan ke Kementerian Tenaga Kerja Jerman dalam bentuk bahasa Jerman yang tidak dipahami oleh para mahasiswa. Mengingat para mahasiswa sudah berada di Jerman, sehingga mau tidak mau menandatangani surat kontrak kerja dan working permit tersebut," jelasnya.
Padahal kontrak tersebut berisi perjanjian terkait biaya penginapan dan transportasi selama berada di Jerman yang dibebankan kepada para mahasiswa.
Pembiayaan penginapan tersebut nantinya juga akan dipotong dari gaji yang didapatkan para mahasiswa.
Menurut Djuhandani para korban TPPO tersebut mengikuti program Ferienjob selama tiga bulan sejak Oktober 2023 sampai Desember 2023.
Djuhandani menyebut berdasar keterangan dari Kemendikbudristek, Ferien Job ke Jerman bukanlah bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM.
Selain itu Kemenaker juga telah menyatakan bahwa Ferien Job Jerman tidak memenuhi kriteria magang di luar negeri.
"Para mahasiswa dipekerjakan secara non prosedural sehingga mengakibatkan mahasiswa tereksploitasi," pungkasnya.
(Tribunnews.com/ abdi)