Namun, perubahan ini mendapat kritik tajam dari sejumlah kalangan, misalnya mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.
Dia menganggap pergantian diksi bisa mengurangi ruh perjuangan RUU ini dalam memberantas korupsi.
Menurut Novel, polemik ini menyentuh sisi penting dari tujuan RUU Perampasan Aset, yaitu memberantas korupsi melalui pengambilalihan harta kekayaan yang tidak sah. Dia menegaskan bahwa undang-undang ini seharusnya tak sekadar mengandalkan istilah, melainkan memperjelas perlunya memasukkan konsep illicit enrichment, di mana peningkatan harta yang tidak dapat dijelaskan asalnya harus dirampas demi kepentingan negara.
Baca juga: Oknum Pejabat Kementerian Komdigi Diduga Terlibat Judi Online, Alarm RUU Perampasan Aset Disahkan
Merespons silang pendapat itu, Pieter menerangkan jika illicit enrichment atau peningkatan kekayaan ilegal merupakan elemen penting dalam pemberantasan korupsi.
Menurutnya, UNCAC sendiri mengamanatkan pengaturan soal illicit enrichment yang memungkinkan penyitaan aset yang diperoleh secara ilegal.
"Tanpa elemen ini, RUU Perampasan Aset hanya akan fokus pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut," kata Pieter Zulkifli.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu memandang RUU Perampasan Aset bukan sekadar masalah terminologi, tetapi juga mencerminkan strategi optimal dalam pemberantasan korupsi.
Dia menekankan urgensi perampasan aset bukan sekadar masalah kepentingan-kepentingan dalam konteks penegakan hukum, contohnya penyitaan perampasan, tapi lebih kepada UNCAC yang berkaitan dengan strategi pemberantasan korupsi yang optimal.
"Penggantian diksi perampasan menjadi pemulihan bisa mengurangi semangat tegas yang ingin disampaikan RUU tersebut. Karena, perampasan aset ilegal bukan sekadar soal pemulihan atau pengembalian aset, melainkan bagian integral dari upaya memberantas akar korupsi di Indonesia," ujar dia.
Pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan penggunaan uang kartal dan penyitaan aset yang tidak wajar menurutnya sebagai langkah konkret yang seharusnya menjadi prioritas utama.
"Sehingga, jika hanya berfokus pada istilah, RUU ini bisa kehilangan esensinya," kata dia.
Pieter menuturkan RUU Perampasan Aset bukanlah hal baru dalam pembahasan legislasi Indonesia.
Diinisiasi sejak 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), RUU ini mengalami bongkar pasang draf beberapa kali.
Mulai dari draf awal 2012, kemudian revisi pada 2019, hingga draf terbaru di 2023, perubahan terus dilakukan, tetapi pengesahan tak kunjung tiba.