"Saya dulu jual beli pepaya, membeli dari pohon petani. Nah besok kalau sudah sembuh, ya saya kembali jual beli pepaya, beli daripohon petani".
"Tidak jadi kepala desa atau apapun. Tidak dengan peristiwa ini, kemudian saya ingin menjadi apa yang bukan saya dulu," ujar Tosan.
Terkait perjuangannya menolak tambang, ia menegaskan perjuangan itu akan ia teruskan. Ia tidak akan kapok dan berhenti meskipun ia menjadi korban kelompok pro tambang.
Ia mengatakan, ia bersama kawan-kawannya, terutama enam orang yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Selok Awar-Awar, sejak lama 'menangis' (mengeluh,red).
Tangisan itu, kata Tosan, disuarakan ke sejumlah pihak mulai dari desa, kabupaten hingga ke pemerintah pusat.
"Andai tangisan kami kemarin diperhatikan, tentu tidak begini kejadiannya. Pak Salim tidak sampai meninggal dunia, saya tidak sampai begini," ujar Tosan sambil menunjukkan luka bekas operasi di perutnya.
Meskipun begitu, Tosan tetap bisa mengambil hikmah positifnya. Kini jalan raya di rumahnya kering.
Padahal ketika ada pengambilan pasir laut besar-besaran dari pesisir Pantai Watu Pecak, jalan raya di depan rumah Tosan tidak pernah kering.
Selalu basah akibat tetesan air laut. Dan itu berlangsung selama 24 jam.
Akibatnya sepeda motor milik warga desa setempat mudah rusak.
"Empat bulan, cat motor saya sudah teyengen (berkarat). Jagrak (standar) sepeda juga mrotholi karena kena air asin," imbuhnya.
Ditambah lagi, pertanian di pesisir pantai rusak berat akibat penambangan.
Petani tidak bisa memanen padi mereka karena rusak terendam air laut.
"Mereka itu menambang di tanah negara, ngambil punya negara, tentu saja harus saya lawan," imbuhnya berapi-api.
Karenanya meskipun menjadi korban penganiayaan dan nyaris meninggal dunia, Tosan bersikukuh tetap menolak tambang pasir di pesisir Desa Selok Awar-Awar.