Nyatanya, hingga saat ini, meski retakan bumi telah kembali rapat, tidak satu pun warga yang berani mendirikan rumah atau bangunan di kawasan itu.
Bertahun-tahun, dusun yang telah ditinggalkan penghuninya itu tak ubahnya kampung mati.
Kampung yang dahulu selalu diwarnai hiruk pikuk penduduk kini sepi tak terjamah.
Yang tertinggal di kampung itu hanyalah kesunyian yang horor.
Tetapi sifat tanah tetaplah tak berubah. Meski tanah yang terlepas dari puncak bukit itu telah berpindah ke bawah lereng.
Gundukan longsor serupa bukit kecil yang menutup kampung itu tetap subur dan menjanjikan kesejahteraan.
Seiring waktu, kuburan sebuah kampung itu telah ditumbuhi pepohonan maupun tanaman liar. Ada saja warga yang berani memanfaatkan lahan bekas bencana itu untuk menyambung hidup.
Meski untuk mengolah tanah yang menyimpan tragedi itu, mereka lebih hati-hati. Petani menanami lahan itu dengan tanaman kayu-kayuan yang lebih kuat mengikat tanah.
"Yang menanam itu juga warga, tapi tidak jelas batas-batasnya, karena tanah milik yang asli kan sudah tertimbun,"katanya
Tetapi warga hanya memanfaatkan lahan yang berada di bawah bukit, atau jauh dari pusat bencana. Kawasan dekat mahkota longsor dibiarkan apa adanya dan tak terolah.
Alhasil, tebing yang sebagian materialnya terlepas itu terlihat gundul, tak berubah dari kondisi semula paska longsor. Prasasti alam ini seakan ingin selalu bercerita, tentang dusun yang hilang dalam sekejap. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Melihat Kengerian Dusun Mati, Sisa Tragedi Terbesar di Banjarnegara,