Dari awal terbentuk, lanjut dia, Ponpes setempat memang sudah mengajarkan makar dan kebencian namun dipermukaan mereka seolah-olah toleran.
"Dia menggabungkan beberapa agama menjadi satu lalu menggunakan logika akal," ujar dia.
Masih disampaikan Ken Setiawan, Ponpes Al Zaytun juga merubah rukun Islam, salah satunya haji tidak perlu ke Mekkah dan Madinah.
Haji itu cukup di Indramayu, Jawa Barat dengan cara mengelilingi Ponpes Al Zaytun seluas 1.200 hektar dengan menggunakan mobil.
Melempar jumrah pun, kata dia, bukan memakai batu, melainkan memakai sak semen. Semakin banyak sak semen maka jemaah itu semakin saleh.
Penyimpangan lainnya adalah dosa bisa ditebus dengan membayar uang. Kemudian salat juga belum diwajibkan.
Mereka menilai negara Indonesia ini masih jahiliyah jadi hukumnya bukan hukum Islam, tapi hukumnya adalah pancasila.
Baca juga: MUI Terus Selidiki Dugaan Ponpes Al Zaytun Terafiliasi dengan NII
Lanjut Ken Setiawan, para jemaah baru diwajibkan untuk salat nanti ketika negara Islam sudah menang.
"Mereka sebenarnya dididik untuk menjadi seorang negarawan bukan agamawan. Maka tidak heran di Al Zaytun ibadah pakai jas, pakai dasi," ucap dia.
Tidak hanya itu, Ponpes Al Zaytun juga merubah kalimat Syahadat.
Syahadat yang mereka ucapkan, kata Ken, bukan Tiada Tuhan Selain Allah, melainkan tidak ada negara selain negara Islam.
Lanjut dia, negara di luar negara Islam, menurut pemahaman Ponpes Al Zaytun adalah kafir.
Semua itu, kata Ken Setiawan ada di hidden kurikulum yang diajarkan di ponpes setempat.
"Kalau Kemenag melihat kurikulumnya memang tidak ada yang aneh..tapi kalau melihat hidden kurikulumnya ini adalah sebuah gerakan intelejen," ujar dia.